Kajian: Feminisme yang Keblabasan
August 10, 2020Hari, tanggal: Sabtu, 8 Agustus 2020
Penyelenggara: MuCC UAKI UB 2020 (@mucc.malang on Instagram)
Secara garis besar feminisme merupakan sebuah pemahaman yang utamanya menuntut kesetaraan gender, sehingga mereka juga sering atau bahkan lebih suka menganggap bahwa mereka adalah aktivis kesetaraan gender ketimbang feminis. Secara lengkap, feminisme bisa diartikan sebagai suatu rangkaian gerakan sosial, gerakan politik, dan ideologi yang memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendefinisikan, membangun, dan mencapai kesetaraan gender di lingkup politik, ekonomi, pribadi, dan sosial.
Latar belakang feminisme berasal dari negara-negara barat, dimana awalnya terjadi diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, serta adanya pembatasan perempuan di ruang publik, yang dimana laki-laki terasa dominan atau lebih unggul posisinya. Dari sinilah perlawanan kaum perempuan mulai hadir, karena mereka semua merasa bahwa semua peradaban menghinakan perempuan, bahkan di negara manapun, di tempat manapun, semua dianggap merendahkan dan tidak mengindahkan posisi perempuan.
Feminisme mengusung konsep dasar mengenai gender. Gender itu sendiri adalah serangkaian karakteristik yang terikat kepada seseorang dan membedakan maskulinitas dan feminitas. Karakeristik tersebut dapat mencakup jenis kelamin (laki-laki, perempuan, atau interseks), hal yang ditentukan berdasarkan jenis kelamin (struktur sosial sepeti peran gender), atau identitas gender. Sehingga bagi mereka adanya pengklasifikasian sifat antara laki-laki dan perempuan hanyalah dibentuk oleh pemikiran masyarakat atau konstruksi sosial (misal: anak yang lahir dengan organ genital yang disebut berjenis kelamin laki-laki oleh masyarakat, maka akan dibesarkan berdasarkan suatu cara hidup tertentu agar sifat dan fisiknya berkembang benar-benar seperti laki-laki umumnya), bukan by given atau memang betul-betul diberikan oleh Tuhan/berdasarkan takdir.
Mereka menganggap bahwa seseorang bisa memilih untuk tumbuh dalam gender seperti apa, karena seorang manusia yang lahir dianggap sesungguhnya hanya ‘terjebak’ pada suatu kondisi tubuh biologis tertentu. Sehingga gender adalah suatu hal yang bisa diubah, bisa dibentuk, atau sifatnya dinamis. Hal ini kemudian yang berikutnya menjadi latar belakang untuk upaya mereka melegalisasikan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender), yang memungkinkan adanya laki-laki bersifat perempuan, laki-laki menyukai sesama laki-laki, laki-laki merubah organ fisik biologisnya menjadi perempuan, dan sebaliknya.
Dalam Islam sendiri, secara fitrah hanya ada dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan, tidak ada yang lain atau campuran antara keduanya. Sifat fitrah itu memang harus ditumbuhkan. Sebagaimana Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita pada adanya pendidikan anak dan tarbiyah jinsiyah (pendidikan seks dalam Islam), dimana diantaranya bahwa setiap laki-laki dan perempuan muslim harus ditumbuhkan dan dibesarkan dengan fitrah yang sudah Allah berikan kepada diri masing-masing bahkan sejak masih kecil. Karena Islam juga memang memberatkan pada penerapan langkah preventif.
Feminisme mengenalkan pula konsep patriarki, yang berarti suatu sistem dalam masyarakat yang telah menempatkan perempuan dalam posisi sub-ordinat (posisi kesekian kali/di nomor duakan). Dalam konsep ini, lelaki diasumsikan memiliki kekuasaan/peran yang berhak mengontrol perempuan dari semua aspek atau setiap tatanan masyarakat, misal dalam urusan pekerjaan, negara, seksualitas, dan institusi budaya, seperti agama, media, serta pendidikan. Feminisme sangat menentang konsep tersebut karena lagi-lagi menindas perempuan.
Sedangkan dalam Islam, memang tidak pernah ada istilah patriarki. Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin, dimana artinya sendiri adalah kasih sayang/nikmat kebaikan dari Allah untuk seluruh alam termasuk kepada makhlukNya. Dan Islam memang betul datang untuk menghapus segala adat istiadat saat itu di zaman Jahiliyyah yang merendahkan perempuan. Ketika Islam ada, perempuan bahkan jauh lebih dimuliakan/diangkat derajatnya oleh Allah, sudah dijelaskan bagaimana konsep ‘adil sesuai porsi’, sudah dijelaskan bahwa perempuan juga dapat berandil dalam tatanan masyarakat, lengkap tanpa kekurangan/celah, tanpa harus kita minta, tanpa kita perjuangkan, tanpa harus berkoar-koar. Islam sudah jauh lebih dahulu memberikan kenikmatan itu beratus-ratus tahun silam sebelum kaum feminis mempertanyakan dan terus memintanya hingga hari ini.
Letak kata keblabasan dalam feminisme adalah tentu karena pemikiran mereka yang sangat bertolak belakang dengan Islam. Apalagi kita tentu pernah mendengar bahwa kaum feminis membawa jargon “MY BODY IS MINE” atau jargon lain yang mengklaim bahwa tubuhnya adalah otoritasnya. Sehingga setiap manusia berhak berbuat sesuka hati terhadap tubuh mereka masing-masing, tidak perduli jika ingin bertelanjang sekalipun. Mereka bebas jika tidak ingin hamil dan mengugurkan kandungan, karena menurutnya janin tersebut adalah bagian dari tubuh yang merupakan hak miliknya sendiri. Sebagai muslimah, tentu kita percaya dan harus mengerti bahwa diri ini semata adalah milik Allah, ruh maupun jasad kita adalah milikNya, bahkan semua yang kita punya di dunia ini pun titipanNya, semua itu kita pinjam dari Allah dan tentu kelak akan kembali pada Sang Maha Pemilik. Sehingga konsekuensinya adalah kita harus menjaga sebaik mungkin semua titipan tersebut agar kembali dalam keadaan yang baik.
Mengenai perihal hubungan antara perempuan dan publik, dalam feminisme juga sangat menuntut dan menjunjung perempuan jika dapat beraktivitas di luar rumah. Rumah bagi mereka tampak seperti tempat pengekangan. Padahal tentu kita pernah pula mendengar jargon kaum feminis lainnya, yaitu “women support women”. Namun kenyataannya, kaum feminis justru mencaci jika ada seorang perempuan yang mimilih sepenuhnya menjadi IRT (Ibu Rumah Tangga), atau ketika beberapa waktu yang lalu ada seorang perempuan yang menyiapkan bekal untuk suaminya, namun kaum feminis lansung memberikan reaksi yang diantaranya menyatakan bahwa hal tersebut adalah bahaya laten patriarki dan sebagainya dengan inti bahwa perempuan akan tertindas dan sama saja diperbudak karena taat pada suami. Feminisme seperti menuntut bahwa perempuan butuh banyak hak namun tidak menyeimbangkannya dengan kewajiban. Dan perlu dipertanyakan pula, apakah kaum feminis ini mendukung semua perempuan tanpa terkecuali, atau hanya mendukung perempuan untuk semakin jauh keluar dari rumah/sesuai keinginan tertentu mereka saja?
Feminisme pun dialiri liberalisme dan sekularisme, dimana mereka merasa semuanya benar kecuali yang tidak sependapat dengannya, dan tampak tidak suka jika diatur-atur dengan urusan agama. Adanya beberapa tokoh feminis muslim memang menjadi dilema tersendiri untuk gerakan perempuan zaman modern ini. Meskipun mereka menuntut kebebasan yang memang sangat kontradiktif dengan Islam terutama, namun adanya tokoh feminis muslim tersebut pun justru juga di klaim oleh mereka sebagai penguat posisi. Sehingga kita tentu bisa merasakan keanehan dan ketidakjelasan atau konsistensi pernyataan kaum feminis itu sendiri.
Jika disangkutpautkan dengan RUU P-KS yang jika ditilik memang berawal dari feminisme dengan isinya yang antara lain mengatur tentang LGBT (pasal 85), kewajiban suami-istri dan mendefinisikan kekerasan yang sebagai suatu hal yang tidak diawali dengan consent. Feminisme sendiri memiliki konsep sex by consent atau suka sama suka/mau sama mau, dimana pada intinya terdapat kerelaan dari kedua belah pihak. Sehingga dalam RUU P-KS tersebut terdapat poin jika seseorang dapat melaporkan pasangannya (dalam hal ini suami-istri) yang melakukan tindakan non-fisik seperti siulan, kedipan mata, memberi ucapan, komentar yang bernuansa sensual, ajakan, atau yang mengarah pada ajakan melakukan hubungan seksual. Tindakan ini dapat dipidanakan jika tanpa persetujuan atau kehendak korban.
Demikian juga adanya aturan terkait suami yang berhubungan dengan istrinya tanpa persetujuan istrinya, sehingga suami yang bersangkutan dapat diancam dengan hukuman pidana. Tentu hal tersebut jadi mendegredasikan lembaga perkawinan. RUU ini juga menganut pemenuhan hasrat seksual yang mengikuti kehendak seseorang. Padahal, Islam mengatur pemenuhan hasrat seksual hanya boleh melalui perkawinan/adanya akad nikah, dengan cara/step yang kesemuanya harus ma’ruf atau baik. RUU P-KS pun membolehkan hubungan seksual dengan persetujuan, meski tidak menikah dan bahkan meski sesama jenis. Apalagi, RUU ini juga menganggap bahwa suatu hubungan seksual yang berlandaskan persetujuan dalam kondisi tidak menikah adalah bukan bentuk perkosaan.
Sikap yang bisa kita lakukan sebagai muslimah untuk menghadapi arus feminisme ini antara lain:
- Tidak inferior sebagai muslim, apalagi pemuda muslim;
- Memperbanyak referensi yang membahas tentang Islam dan perempuan;
- Tidak terlena oleh isme-isme yang dibuat manusia. Sedangkan kita tahu sebagai muslim bahwa Islam tidak pernah ada keraguan di dalamnya (QS. Al-Baqarah/2:2);
- Melawan balik lewat konsep Islam. Feminisme terus berisik dan melancarkan gerakannya melalui banyak cara dan media, maka tidak ada cara lain selain melawannya;
- Tegas memilih, menjadi muslimah seutuhnya atau feminis sepenuhnya? Karena feminisme dan Islam adalah dua hal yang tidak akan pernah bisa disatukan. Tidak bisa diambil sebagian-sebagian yang baik atau tidaknya dari feminisme. Tidak akan pernah ada konsep feminisme yang bisa ditawarkan pada Islam, karena dalam Islam sudah lengkap segalanya diatur.
Terakhir sebagai penutup, Ust. Salim A. Fillah pernah berkata: “Setiap saya membaca dan mengkaji mengenai perempuan, saya lansung menangis dan iri”. Beliau menangis dan iri karena tentu saking banyaknya kebaikan yang Allah turunkan kepada perempuan dengan perantara agama Islam.
0 comments