­

Review: Sang Pangeran dan Janissary Terakhir - Salim A. Fillah

June 22, 2020



Judul Buku: Sang Pangeran dan Janissary Terakhir
Penulis: Salim A. Fillah
Kategori: Fiksi-Sejarah
Penerbit: Pro-U Media
Tahun Terbit: 2019
Jumlah Halaman: 632 Halaman
ISBN: 978-623-7490-06-7
Rating: 3,8/5

Kyai Gentayu berjingkrak, menaikkan kaki depannya sambil meringkik riang dan sesekali melonjak. Surainya berkibar terentak selaras dengan tapak-tapaknya yang berkecipak. Dengan kepala mendongak, sang penunggang dapat duduk tegak. Lelaki berperawakan tinggi lagi kacak itu tampak seperti sedang menari tandak. Gerak tubuhnya melenggak sesuai lenggok tunggangannya yang rancak. Di sekeliling kuda yang menjejak-jejak, para pengawalnya seirama berlari hingga tombak-tombak di tangan mereka turut meliuk bagai pusara ombak.
 
"Lihat, Paman! Lihat, Sedulur sekalian! seru Sang Pangeran yang tiba-tiba memutar kendali kudanya sambil mengacungkan tangan ke arah Puri dan Masjid yang dikerumuk api. "Kediaman kita telah terbakar! Dan tiada lagi tersisa tempat bagi kita diatas Bumi ini! Maka mari kita semua mencari tempat untuk diri kita di sisi Gusti Allah!"
 
"Kami bersama Anda, Kanjeng Pangeran! Pejah gesang fi sabilillah!" sambut para pengikut.
 
"Dan demikian pula kalian, para Janissary terakhir?" tanyanya meminta penegasan di sela ringkik Gentayu yang telah hendak berpacu, tapi dikekang.
 
"Tentu, Pangeran... Kita adalah kaum, yang apabila Bumi menyempit bagi kita, maka langit yang akan meluas untuk kita! Hiyaaa!" seru Nurkandam Pasha sambil melecut kudanya. Sang Pangeran tersenyum mantap, dan sekali dia lepaskan kekang Gentayu, dua lompatan kuda itu senilai tiga kali loncatan kawanannya.
 
"Hiyaaa ... Hiyaaa ..." Serempak yang lain turut berpacu dalam turangga-turangga terbaik dari Tegalrejo itu berlari ke arah terbenamnya mentari sebelum membelok ke selatan menyusur tepian Kali Bedog.
 
"Maktuub ...!" Katib Pasha yang ada di barisan belakang berbisik dengan memejam mata sambil mengusap surai tunggangannya dan menunduk khusyuk. Sejak senja yang gerah, Rabu 5 Dzulhijjah 1240 Hijriah, salah satu Perang Sabil paling berdarah di Nusantara itu telah pecah.
 
***

Dari awal launching-nya di akhir tahun 2019 lalu, sejujurnya ada beberapa alasan yang semakin menambah rasa penasaran ketika pertama kali saya melihat buku ini berseliweran di timeline media sosial. Yang pertama, saya sendiri sebetulnya belum pernah membaca buku dengan genre fiksi-sejarah. Genre yang pure sejarah memang saya sudah pernah membaca beberapa judul buku, tetapi kemudian tersadar, sayang sekali rasanya kalau belum pernah merasakan bagaimana sensasi jika fiksi dan sejarah disajikan menjadi satu. Maka ketika Ust. Salim A. Fillah sebagai salah satu penulis favorit saya memulai debut pertama beliau menerbitkan buku dengan genre tersebut, saya seketika tertarik, terlebih setelah melihat salah satu video seminar bedah bukunya di kanal YouTube.

Gambar 1. Cover Depan Buku 'Sang Pangeran dan Janissary Terakhir - Salim A. Fillah'
Yang kedua, siapa yang tidak terkesan pada judulnya yang menggunakan kata 'Janissary'. Amat terdengar asing di telinga, terutama untuk orang yang masih awam soal sejarah seperti saya. Maksud tokoh Sang Pangeran disini yang merujuk pada Pangeran Diponegoro juga mendorong rasa keingintahuan lebih karena seperti yang kita ketahui, perang yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro di tanah Jawa merupakan perang terbesar dalam riwayat peperangan di Nusantara karena banyaknya jumlah kerugian yang ditimbulkan, khususnya bagi pihak Kolonial Belanda kala itu, hanya dalam kurun waktu lima tahun. Ust. Salim A. Fillah kalau tidak salah pernah mengatakan dalam seminar bedah bukunya bahwa beliau berusaha menguak sisi lain dari setiap kejadian, seperti kepribadian tokoh-tokohnya hingga suasana saat itu dalam pandangan yang didasarkan dari latar belakang khususnya sebagai orang Jawa, berbeda dengan pandangan Prof. Peter Carey, seorang sejarawan asing yang sebelumnya pernah secara khusus mendalami dan menulis buku tentang Pangeran Diponegoro, tetapi belum mendapatkan feeling yang kuat dari suasana yang terjadi saat itu karena bagaimana sesungguhnya karakteristik orang Jawa tidak ditonjolkan.
 
Yang ketiga, dari blurb (sudah disematkan di atas sebelumnya) yang menyebutkan penamaan Kyai Gentayu pada kuda milik Pangeran Diponegoro juga menjadi alasan saya membaca buku ini selanjutnya. Setidaknya sejak belajar sejarah salah satu pahlawan nasional Republik Indonesia ini dari materi bangku sekolah dasar, saya memang sudah mengetahui akan adanya penamaan tersebut, tetapi  ketika itu saya belum mengulik lebih lanjut kenapa orang Jawa suka menamai kuda atau juga keris mereka, bahkan dengan gelar kyai yang sepengetahuan saya dahulu hanyalah sebatas sinonim dari ulama atau orang yang ahli dalam hal/pengetahuan agama Islam. Di buku inilah, akhirnya saya bisa menemukan jawabannya, sekaligus bagaimana pandangan hal semacam itu dalam Islam yang ikut dibeberkan oleh penulis. Saya juga baru mengetahui beberapa falsafah yang ada di tanah Jawa lekat dengan keseharian lewat makanan, tumbuhan, hingga bahkan bangunannya, mengapa ada pemaknaan atau perumpaan amat dalam dan itu disambungkan untuk sejarah di kemudian hari.
 
Awal membaca buku, begitu disuguhkan dengan deretan nama tokoh yang lumayan banyak, saya agak terkejut. Bagi saya, nama tokoh yang sekilas terdengar mirip-mirip itu adalah tantangan tersendiri, karena dengan begitu saya harus memfokuskan pikiran ketika membacanya agar tidak tertukar pemahaman saya pada antar tokoh yang terlibat. Tidak jarang pula saya bolak-balik membuka halaman pengenalan tokoh dengan halaman cerita. Ditambah lagi dengan adanya gelar tanda pangkat dalam satuan pasukan yang awalnya sukar untuk di konstruksi bagaimana susunannya. Hingga kemudian ketika sudah membaca dari bagian pertengahan menuju akhir, barulah saya mulai terbiasa dan sedikit demi sedikit dapat mengerti perbedaan dibantu adanya ciri khas setiap tokoh. Satu hal yang tidak diduga sebelumnya adalah jika dapat menelaah dengan seksama, maka kita akan menemukan siapa tokoh fiksi yang diciptakan dalam buku ini.
 
Dari keseluruhan tokoh, ada dua pasangan tokoh yang paling diingat karena selalu hadir membawa selingan hiburan dengan tingkah dan percakapan renyah khas mereka, yaitu Joyo Suroto-Banteng Wareng yang merupakan dua pengawal Pangeran Diponegoro dan Legowo-Prasojo yang merupakan dua pengawal Basah Katib selaku salah satu panglima. Di sisi lain, yang paling menohok saya adalah ketika menemui adanya tokoh yang menggambarkan sudah adanya kasus orientasi kelainan seksual di Nusantara saat itu.
 
Selanjutnya, saya juga menyukai cara Ust. Salim A. Fillah yang sangat menggambarkan sesuatu dengan amat detail, sehingga seperti benar-benar diajak kembali melihat situasi dan kondisi nyatanya. Kemudian, berbeda dengan ekspetasi saya yang kiranya akan menggunakan alur cerita maju, Ust. Salim A. Fillah justru mengajak kita untuk menikmati bagaimana serunya alur cerita yang maju-mundur. Berpindah-pindah waktu dan tempat. Dari Yogyakarta, Makkah, hingga Istanbul. Benar-benar mengasah konsentrasi. Maka ketika membaca setiap awal bab, saya menyarankan agar perlu dipahami betul bagaimana setting latar waktu dan tempatnya. Untuk keseluruhan buku, mungkin kekurangannya adalah karena tidak adanya glosarium untuk penjelasan kata atau istilah lebih lengkap dan peta skala besar pada daerah-daerah yang disorot di dalam setiap bagian bab (terutama wilayah Yogyakarta dan sekitarnya) agar para pembaca yang belum mengenal seluk-beluk wilayah tersebut dapat lebih mudah memvisualisasikan perjalanan demi perjalanan yang dilalui Pangeran Diponegoro dan para tokoh lainnya.

Gambar 2. Tampilan Salah Satu Halaman Buku 'Sang Pangeran dan Janissary Terakhir - Salim A. Fillah'
Dari buku ini, saya belajar untuk mengenal Pangeran Diponegoro dari perspektif baru, menggali lebih dalam bagaimana kepribadian dan kehidupan beliau, termasuk meluruskan banyak pemberitaan yang keliru mengenai beliau. Fakta-fakta yang belum pernah saya ketahui pun banyak dijelaskan. Sedikit mengutip salah satu cuplikan keadaan yang diceritakan dalam buku ketika Pangeran Diponegoro terdesak dalam perundingan berujung pengkhianatan di Wisma Karesidenan Kedu, dimana situasi saat itu penuh ketegangan, tentu perkara mudah saja jika Pangeran Diponegoro lansung membunuh Jenderal De Cock yang berada tepat di depannya. Namun, Pangeran Diponegoro masih dapat menahan diri dan berpikir lebih jauh untuk melakukan hal itu. Kyai Penghulu Faqih Ibrahim yang dimintai nasihat pun justru kemudian seolah-olah menyarankannya untuk pasrah-menyerah saja kepada Jenderal De Cock. Saya ikut merasakan bagaimana pergejolakan hebat yang ada dalam diri Sang Pangeran. Maka kemudian melihat watak Pangeran Diponegoro yang sudah takkan mempertimbangkan hal lain lagi dan menyetujui perjalanan ke Salatiga, terngianglah ucapan Kyai Kwaron yang didengarnya di Selarong lima tahun lalu. "Dikhianati tidaklah berbahaya. Yang berbahaya adalah berkhianat. Ditipu tidaklah berbahaya. Yang berbahaya adalah menipu. Dibunuh tidaklah berbahaya. Yang berbahaya adalah membunuh" (Bab Tiga Puluh, halaman 615).

Benarlah tagline di bawah judul buku yang bertuliskan “Kisah, Kasih, dan Selisih dalam Perang Diponegoro”. Bagi saya, jika boleh diumpamakan, buku ini seperti semangkuk es krim strawberry sundae, karena ketika membacanya kita akan seolah benar-benar dibawa melesat menikmati bagaimana manis getir episode kehidupan dalam Perang Diponegoro dari banyak sisi. Apalagi dengan plot twist-nya yang berhasil membuat saya terkesiap. Buku ini akan menambah luas wawasan kita terhadap sejarah Pangeran Diponegoro dan perang yang dipimpinnya.

You Might Also Like

0 comments