­

Review: Mengukir Peradaban - Khoirul Fahmi & Zahratul Iftikar

February 19, 2021



Judul Buku: Mengukir Peradaban
Penulis: Khoirul Fahmi & Zahratul Iftikar Jadna Masyhida
Genre: Agama, Pernikahan dan Keluarga
Penerbit: CV. Masyhida
Tahun Terbit: 2018
Jumlah Halaman: 210 Halaman
ISBN: 978-602-52034-0-4
Rating: 3,8/5

***

"Katakanlah peradaban ini besar. Tapi dalam konteks ruang yang terbatas, peradaban boleh jadi tersusun atas negara-negara. Negara tersusun atas provinsi. Provinsi tersusun atas kota atau kabupaten. Kota atau kabupaten tersusun atas kecamatan dan seterusnya. Apa struktur sosial terkecilnya? Ya, itulah keluarga. Peradaban, kontradikitif dengan namanya yang begitu besar menggema, nyatanya hanya tersusun atas satuan unit terkecil yang disebut keluarga. Jika keluarga-keluarga ini dibangun berlandaskan nilai-nilai Islam yang mengakar kuat, maka lahirlah peradaban Islam yang hebat." - Zahratul Iftikar Jadna Masyhida

"Masa kejayaan sebuah peradaban dipergilirkan oleh Allaah swt diantara manusia. Dan berdasarkan bunyi hadits yang di nubuwwat-kan Rasulullaah saw, kejayaan umat Islam akan hadir dalam waktu yang dekat. Entah kita akan memperjuangkan tegaknya peradaban Islam atau tidak, Islam tetap akan jaya pada masa yang Allaah swt tentukan tersebut. Maka, jika kita tidak siap dan bersegera mengambil bagian dalam jalur perjuangan ini, Allah swt akan menggantikan posisi kita dengan orang lain yang lebih siap." - Khoirul Fahmi

***

Kira-kira, di usia berapakah kita sudah menentukan rencana untuk menikah atau membangun keluarga sendiri? Mulai usia berapakah kita gencar mempersiapkan diri untuk berkontribusi mengembalikan masa kejayaan Islam lewat pewarisan generasi terbaik? Atau yang lebih sederhana dan tak perlu jauh-jauh ke arah sana, sudah tahukah kita apa perbedaan life goals, life plan, action plan, dan milestone dalam sebuah penyusunan kerangka pencapaian dalam hidup? Seberapa besarkah efek keempat hal tersebut sepanjang usia, bahkan hingga ke akhirat? 

Sebagai prolog, saya ingin menceritakan bahwa buku ini adalah buku pertama yang saya beli dalam bentuk e-book, sekitar bulan Desember tahun lalu. Berawal dari keinginan mengurangi buku fisik agar paperless dan wujud kesungguhan memaknai konsep minimalisme, saya keluar dari zona nyaman. Sebuah ketidaksengajaan ketika kemudian menemukan buku ini di deretan pencarian pada aplikasi Google Play Book. Buku yang sudah masuk wishlist sejak satu tahun sebelumnya.

Dulu, saya pernah bersikeras tidak akan lagi membaca buku (atau media lain) tentang pra/pasca pernikahan, ber-genre romance, atau mengandung kebaperan karena mampu menggelincirkan pikiran dan membuang waktu untuk berangan-angan yang tidak dibenarkan. Masih jauh dan belum sepantasnya, pikir saya waktu itu. Lebih-lebih karena kekhawatiran saya akan komentar orang lain yang sering memandang jika seseorang sedang mempelajari hal tersebut berarti akan segera atau siap menikah dalam waktu dekat. Nyatanya? Tepat saat membaca kata demi kata di buku Mengukir Peradaban, prinsip tersebut hancur sejadi-jadinya. Menyadari jika keengganan itu adalah bentuk dari kelalaian awal akan masa depan saya, masa depan umat. It's ok kalau nggak membaca buku ber-genre romance, tapi wajib untuk membaca buku persiapan menikah dan yang berkaitan lainnya.

Gambar 1. Cover Depan dan Belakang Buku 'Mengukir Peradaban - Khoirul Fahmi & Zahratul Iftikar

Lewat buku ini, Mas Fahmi dan Mbak Zahra jujur lebih banyak menginspirasi saya soal teknis membuat life goal, life plan, action plan, serta apa maksud milestone sebagai titik check-up atau pitstop untuk evaluasi dalam mewujudkannya. Ditekankan betul bagaimana urgensi memiliki semua itu, terutama dengan didasarkan pada konsep SMART (Specific, Measurable, Achiveable, Relevant, Time-based). Sebagai seorang muslim, mungkin life goal kita akan berangkat dari pertanyaan-pertanyaan seperti mau jadi orang seperti apa kita di akhirat nanti? Apa yang akan kita pertanggungjawabkan kepada Allah? Amalan seperti apa yang akan kita jadikan andalan untuk menghadap Allah? Persembahan seperti apa yang hendak kita bawa untuk menghadap Allah? Surga tingkatan berapa yang ingin kita capai? Buku catatan jenis mana yang ingin kita terima? Rekan-rekan seperti apakah yang kita hendak berkumpul reunian dengan mereka di surga? Akankah kita bisa masuk surga sekeluarga?

Sejumlah pertanyaan yang memunculkan kegelisahan besar itulah yang harus kita pecahkan jawabannya lewat aksi nyata. Kita perlu bersiap untuk beramal lebih banyak, berpikir lebih keras, dan berdo'a lebih sering. Karena derajat diri seseorang pun bisa diukur lewat hal apa saja yang menjadi sumber kegelisahannya. Nggak tanggung-tanggung, minimalnya, harus ada tiga life plan konkret tentang peran kita di dunia. Ketiga life plan tersebut adalah life plan tentang keluarga, life plan tentang karier dan pendidikan, serta life plan tentang kontribusi untuk umat.

Di awal masa kuliah, saya sering dibuat heran dengan life goal tiap orang yang muncul di timeline media sosial saat masa open recruitment suatu UKM/organisasi untuk penugasan. Kenapa hampir sebagian besar (termasuk diri sendiri) memiliki life goal yang sama? Entah ingin membahagiakan orangtua, membiayai pendidikan adik, menjadi sukses hingga bisa bermanfaat untuk orang banyak, dan sebagainya. Kalau dilihat pada QS. Al-Mulk/67: 2, dijelaskan bahwa Allah menciptakan kehidupan dan kematian itu adalah untuk menguji kita, siapa yang paling baik amalnya, ahsanu 'amalan. Jadi harusnya kita tak lagi heran, karena toh, mungkin saja segala goal ituentah secara sadar ataupun tidakmemang didasarkan untuk memenuhi pertanggungjawabannya sebagai khalifah di bumi. Perlu diakui kalau life goal itu utopis dan umum, maka dengan life plan-lah kita membuatnya terlihat lebih realistis melalui versi masing-masing.

Back to the main topic, dua bab sebelum dan empat bab setelah Bab 3 mengenai life goal dan life plan yang menjadi salah satu pondasi penting sepanjang hidup agar seluruh waktu kita maksimal dipersembahkan untuk beribadah kepada-Nya, penulis mengajak pembaca untuk memperbaiki paradigma dan niat menikah sekaligus berkeluarga, serta menyorot apa saja persiapan pra-nikah. Ada bermacam poin yang disampaikan, mulai dari sampai mana/apa tolak ukur kita dikatakan sebagai orang yang siap menikah, siapa jodoh kita, membuat visi-misi keluarga seperti apa yang akan dibangun saat sudah menikah, bagaimana cara berta'aruf, penjagaan diri saat ta'aruf, yang perlu diketahui saat ta'aruf, prinsip dasar memilih orang yang tepat, cara melobi orangtua dan mengambil hati calon mertua, perhitungan biaya khitbah-akad-walimah, urgensi dan konsekuensi akad-ijab-qabul, perbedaan mahar dan syarat akad, sampai kehidupan pasca-menikah serta manajemen keuangan keluarga muda. Rasanya... wow, jarang kan ada yang sampai membahas biaya sekaligus manajemen keuangan.

Yang kemudian membuat saya amazed terhadap buku ini adalah bentuk penyampaian penulis yang sistematis, rinci, lengkap dengan tips/do-don'ts dan contoh studi kasus, serta ada bagan sebagai penjelas perbedaan makna atau urutan sehingga memudahkan pemahaman. Bahasanya pun nggak terlalu kaku/berat, diselingi perjalanan kisah nyata dari sudut pandang masing-masing penulisnya yang merupakan suami-istri sehingga bisa menjadi masa jeda sebelum masuk ke pembahasan secara teoritis dan membuat saya sering ber-"oo" panjang tanda baru mengerti. Saya selalu terharu kalau bertemu bagian ketika Mas Fahmi dan Mbak Zahra bergantian bercerita, Maha Besar Allah dengan segala kuasa-Nya, dua orang yang sama-sama keren ini dihubungkan dengan rentetan takdir tak biasa. Saya sangat salut ketika tahu Mas Fahmi sudah memiliki rancangan keluarga yang diinginkan sejak SMA dan Mbak Zahra punya idealisme kuat jika sudah berhubungan dengan ibadah/pembuktian cintanya kepada Allah, lewat kegiatan atau keseharian yang dijalani.

Kekurangannya, ada beberapa ketentuan syariat Islam dalam menikah yang dalil nya tidak disebutkan dengan jelas, sehingga bisa menimbulkan pertanyaan (apalagi kalau pembaca bukanlah orang yang mampu men-crosscheck dengan baik). Tapi overall nggak jadi masalah besar buat saya, karena InsyaAllah yang ada bisa dipertanggungjawabkan (ada referensi shahih) dan mungkin maksud penulis memang ingin agar buku ini ringkas serta lansung to the point. Untuk ukuran orang awam perihal persiapan menikah seperti saya, buku ini sudah cocok masuk daftar rekomendasi. Sehabis membaca, saya jadi buru-buru mengalokasikan jadwal untuk mengoreksi dan men-list kembali kealpaan saya terhadap beberapa hal yang seharusnya sudah dilakukan. Komplit, membekas, dan menggunggah.

Sesuai namanya, Mengukir Peradaban adalah buku yang memantapkan diri untuk nggak pernah berhenti berkontribusi bagi kembalinya golden age Islam, yang mana dengan nantinya kita menikah atau berkeluarga justru bisa menambah wadah kolaborasi terbaik. Karena menikah itu bukan perkara sepele yang tahapnya hanya ta'aruf-khitbah-akad-walimah, jauhhh sekali dari itu semua, kita butuh persiapan diri. Entah dari segi pemahaman ilmu (aqidah, fiqih, psikologi, parenting, kedudukan, etc), kedewasaan fisik, penguatan skill dan karakter, keistiqomahan amal shalih, matangnya rencana hidup, kecukupan dan pengelolaan harta, dan dimilikinya jaringan/relasi. Persiapan yang sama sekali nggak cukup kalau dikebut mendekati pernikahan. Sama seperti hidup, esensi dari pernikahan nggak hanya bersenang-senang, melainkan syariat yang bertujuan menjaga kualitas umat. Setelah itu pun keluarga kita harus sudah punya prospek dan tujuan jelas, saling menyatukan apa-apa yang dahulu hanya kita miliki secara personal. So, selamat bersiap-siap untuk naik kelas lewat buku ini, ya!

You Might Also Like

0 comments