Women Scholars in Islam #3: Memahami Makna Adab dalam Menuntut Ilmu, Perbedaan Adab dan Akhlak (2)

February 15, 2021




Pemateri: Dr. Abas Mansur Tamam
Hari, tanggal: Sabtu, 6 Februari 2021
Penyelenggara: Frasa (@frasa.in on Instagram)

Lihat catatan Memahami Makna Adab dalam Menuntut Ilmu, Perbedaan Adab dan Akhlak (Part 1) terlebih dahulu disini.

KEPRIBADIAN PENCARI ILMU

  • Membersihkan Hati
Penuntut ilmu harus membersihkan hatinya dari segala kotoran batin, baik itu kedengkian, kebencian, akidah yang menyimpang, dan akhlak yang buruk agar bisa menerima ilmu, mengingatnya, meneliti makna, dan mengetahui kebeneran yang rumit. Karena ada hubungan yang paralel antara hal yang bersifat dzahir (fisik) dengan hal yang bersifat batin. Sebagai gambaran, dahulu ketika Imam Malik meriwayatkan hadits Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, beliau selalu memakai pakaian terbaik yang dipunya. Alasannya, karena beliau ingin meriwayatkan hadits, dimana yang disampaikan merupakan representasi dari kerasulan, sehingga beliau tampilkan dalam profil yang terbaik. Ternyata, dalam sejarah tentang seorang pemikir Italia yaitu Niccolo Machiavelli, akan didapatkan hal serupa. Machiavelli bercerita bahwa ketika beliau mengkaji suatu hal, maka akan digunakan pakaian kebesarannya. Machiavelli merupakan seorang ahli politik yang kemudian menuliskan tentang bagaimana trik-trik terbaik yang harus dilakukan oleh para praktisi politik, dan untuk bisa membicarakan tentang keilmuan itu dengan baik, maka beliau mempersonifikasikan dirinya sebagai seorang penguasa dengan segala kebesarannya. Misalnya lagi, dalam doa wudhu yaitu "Allahummaj'alni minat-tawwabina..." yang menunjukkan kebersihan hati, serta "...minaj'alni minal mutathahhirin," yang bermaksud kebersihan jasad. Intinya, penuntut ilmu harus membersihkan hatinya agar proses penerimaan ilmu tidak terhalang dan dimudahkan oleh Allah.

Ilmu merupakan ibadah dan taqarrub-nya hati. Seperti shalat (termasuk ibadah fisik) yang tidak sah kecuali dalam keadaan bersih dari najis dan hadas. Sedangkan ilmu (termasuk ibadah hati) juga tidak sah kecuali dalam keadaan bersih dari akhlak yang tercela. Jika hati kita suci dan siap menerima ilmu, maka keberkahan dari ilmu tersebut akan terus bertumbuh kembang. Sahel Al-Tustari mengatakan bahwa mustahil hati dimasuki cahaya, ketika di dalamnya mengandung sesuatu yang tidak disukai Allah.

  • Menjauhi Dosa
Menurut Imam Syafi'i dalam syairnya, ilmu itu cahaya. Sebab dari terbuatnya syair itu adalah karena seperti yang kita tahu, Imam Syaf'i adalah seorang imam yang luar biasa. Usia tujuh tahun pun beliau sudah hafal Al-Qur'an, kemudian dikirimkan dari tempat kelahirannya di Gaza, Palestina menuju ke Mekkah agar mendapatkan kesempatan belajar dengan baik, hingga menguasai berbagai disiplin ilmu. Namun kejeniusan ini kemudian terusik kala Imam Syafi'i melihat dengan tidak sengaja betis seorang perempuan hingga merasa setitik noda muncul di hatinya, hingga hafalannya berubah menjadi buruk. Imam Syafi'i lalu melaporkan masalah ini pada Waqi', gurunya. Waqi' menasehati bahwa ia harus meninggalkan perbuatan dosa karena ilmu itu cahaya dan tidak akan ditunjukkan pada orang yang berdosa. Dalam cerita lain, Imam Al-Ghazali juga menyebutkan bahwa merupakan bentuk mempersempit rahmat Allah jika kita memahami bahwa ilmu hanya bisa diperoleh lewat panca indera.

  • Niat yang Ikhlas
Ilmu-ilmu yang berhubungan dengan akhirat menuntut penyucian hati, memurnikan tujuan, menghadapkan semua hatinya kepada Allah. Hal ini dikatakan oleh Habib bin Abi Tsabit, "Aku mencari ilmu, ketika itu aku tidak mempunyai niat (ikhlas). Kemudian, Allah menganugerahkan niat (yang ikhlas)." (Ibn Sa'd, Tobaqat, 6/320). Imam Al-Ghazali pun menyampaikan perkataan serupa, "Aku dulu mencari ilmu tidak karena Allah, namun ilmu itu sendiri menolak kecuali bahwa ia dicari harus karena Allah." Ini menceritakan ada pergolakan dinamika keilmuan pada diri Imam Al-Ghazali bahwa beliau ingin diposisikan atau mendapatkan kedudukan unggul di hierarki keilmuan, hingga tidak ada satupun disiplin ilmu yang dicari kecuali benar-benar mutqin menguasai secara detail aspek-aspek suatu ilmu. Ketika sudah mendapatkannya, beliau menuliskannya menjadi satu buku khusus.
 
Inilah mengapa keikhlasan menjadi adab yang paling berat, hingga Sufyan Al-Tsauri mengatakan, "Aku tidak menyiasati sesuatu yang lebih besar dari niatku. Ia berbalik kepadaku." Maka ketika kita mencari ilmu dan memulainya dengan kalimat basmalah serta berdo'a agar Allah menambahkan ilmu kepada kita, itu disebut sebagai kesadaran bahwa ilmu memang semata-mata didapatkan karena Allah yang memberikan. Kemudian menyambung dengan adab untuk tawadhu kepada ulama atau guru yang mengajar, juga orang-orang yang menyertai dalam proses pengajaran tersebut (termasuk dalam hal ini teman kita).
 
Yang kemudian dianggap menjadi sesuatu yang sulit dalam menjaga keikhlasan adalah soal godaan materi. Al-Qori menjelaskan bahwa orang yang mengikhlaskan niatnya kemudian belajar karena Allah, keikhlasan itu tidak dirusak oleh keduniaan yang dia peroleh, asal tidak dijadikannya tujuan dalam belajarnya. Artinya, bukan jadi persoalan jika Allah menjadikan ilmu sebagai perantara dalam memberikan rezeki. Yang menjadi masalah adalah kalau memang orientasinya untuk harta.
 
Keikhlasan dalam ilmu justru akan membuat dunia mendatanginya, tanpa berharap banyak padanya. "Siapa yang menjadikan akhirat sebagai obsesinya, Allah akan menutupi keperluannya, menjadikan rasa cukup dalam dadanya, dan dunia akan mendatanginya sementara dia tidak banyak berharap kepadanya." (HR. Abu Daud, Ibnu Majah).

  •  Mengikuti Proses Belajar dengan Baik
Aisyah radhiallahu 'anha berkata, "Semoga Allah memberikan rahmat kepada perempuan Anshar. Mereka tidak malu bertanya tentang urusan agamanya." Di dalam sejarah pendidikan awal Islam, dicatat bagaimana keseriusan wanita Anshar untuk belajar kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Namun, tidak hanya para wanita, para lelakinya pun memiliki sifat yang serupa.
 
Misal, Umar bin Khattab yang tinggal di luar kota Madinah dan jauh dari masjid tempat Rasulullah berada serta memiliki beberapa kesibukan menyebabkannya tidak dapat menemani Rasulullah. Tapi Umar berkata, "Aku bergiliran dengan seorang tetangga. Jika satu hari aku menemani Rasulullah, maka aku akan menceritakan ayat yang diturunkan ataupun hadits yang disabdakan oleh Rasulullah, kemudian besoknya tetanggaku itu akan melakukan hal yang serupa." Maka tidak ada alasan untuk tidak mengikuti pembelajaran, dan tidak ada orang yang tidak sibuk atau sulit dalam menjalani hidupnya.

  •  Sabar dalam Belajar
"Hendaklah seseorang tidak berharap kecuali kepada Tuhannya dan tidak takut kecuali pada dosanya." Orang yang tidak tahu jangan malu untuk belajar dan mengatakan tidak tahu jika ditanya tentang apa yang dia tidak ketahui. Ada nasihat dari Ibnu Qutaibah bahwa kedudukan sabar dari iman seperti kepala dari jasadnya. Jika kepala hilang, jasad pun akan hilang. 
 
Belajar dari salah satu kisah, yaitu kisah Ibnu Abbas, dimana beliau bercerita, "Aku mencari ilmu dan tidak diperoleh lebih banyak kecuali di kalangan Anshar. Aku mendatangi seseorang dan bertanya tentang orang yang ingin aku temui. Yang ditanya pun menjawab, "Sedang tidur." Maka, aku berselimut dengan selendang dan berbaring sampai dia keluar untuk Shalat Dzuhur. Dia bertanya, "Sejak kapan engkau disini wahai anak paman Rasulullah?" Aku menjawab, "Sudah lama." Dia berkata kembali, "Mengapa tidak memberi tahuku?" Aku menjawab, "Aku ingin agar engkau keluar setelah memenuhi hajatmu."" (Sunan Ad-Darimi).
 

ADAB KEPADA GURU

  • Memuliakan Guru
Guru bagi anak didik seperti bapak/ibu bagi anaknya. Yahya bin Muadz menyampaikan, "Para ulama lebih sayang kepada umat Muhammad dibanding bapak dan ibu mereka. Mengapa? Karena bapak dan ibu mereka menjaga mereka dari api dunia, sedangkan para ulama menjaga mereka dari api akhirat (Imam Al-Ghazali). Sehingga, muliakanlah guru seperti memuliakan orangtua kandung kita sendiri.

  • Beradab Kepada Guru
Hasan bin Ali radhiallahu 'anhu pernah memberikan nasehat kepada anaknya, "Nak, jika engkau duduk bersama ulama, lebih banyak mendengarlah daripada berbicara. Belajarlah mendengar, sebagaimana engkau belajar untuk diam. Jangan potong pembicaraannya, meskipun dia lama berbicara sampai diam." (Ibnu Abdil Barr).

  • Bertanya dengan Santun
Ibrahim kepada Al-Manshur berkata, "Bertanyalah, meskipun seperti pertanyaan orang yang bodoh. Tetapi, ingatlah dengan daya ingat seperti orang yang cerdas." (Al-Jahidh). Maksudnya, ada banyak orang saat ini yang gengsi bertanya karena khawatir dianggap mengerti. Padahal tidak mengapa, lebih baik dianggap tidak mengerti daripada akhirnya tidak dipahami selamanya. Di lain kesempatan, Ibnu Abi Al-Dunya mengatakan, "Pandai bertanya adalah setengah dari ilmu." Ilmu dapat diingat dengan cara menghafal, mencatat, dan mengamalkannya.
 
Ada adab bertanya yang harus diperhatikan. Dikisahkan bahwa ketika Ali berhadapan dengan Ibnu Al-Kuwa, Ali memintanya untuk bertanya. Lalu, Ibnu Al-Kuwa bertanya tentang beberapa masalah. Maka, Ali berkata, "Celakalah. Bertanyalah dalam rangka memahami, bukan untuk membangkang." Jangan sampai kita mengajukan pertanyaan yang dimana guru memahaminya sebagai sebuah rangka pengujian baginya atau membanggakan diri atas pengetahuan yang mungkin belum diketahui guru atau teman-teman kita. Bertanyalah karena kita ingin mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak darinya, atas dasar hormat padanya. Dalam hadits riwayat Ahmad, dijelaskan bahwa sesungguhnya Allah tidak menyukai darimu banyak berbicara dengan tidak benar (qila wa qala), menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya. 

  • Mendengarkan dengan Baik
Orang yang pemahamannya bagus tapi cara menyimaknya buruk, kebaikannya tidak sebanding dengan keburukannya (Anas bin Abi Syeikh). Pembelajar sudah seharusnya menjadi pendengar yang baik. Ada beberapa kejadian yang bisa kita jadikan contoh. Misal, ketika Urwan bin Zubair senang mendebat, maka Ibnu Abbas tidak banyak mengeluarkan ilmu kepadanya. Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah pandai bertanya dengan lemah lembut, maka Ibnu Abbas memberikan banyak ilmunya. Bukan tidak boleh mengkritik, tetapi  Ibnu Juraiz berkata, "Aku menggali ilmu dari Atha dengan sikapku yang santun." Sebagian salaf berkata, "Jika engkau duduk bersama orang alim, lebih banyaklah mendengar daripada berbicara." (Ibnu Qayyim).

  • Tetap Kritis
Tidak ada kebaikan pada ilmu yang tidak direnungkan. Selaras dengan firman Allah: "Sesungguhnya pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya dan dia menyaksikan." (QS. Qaf/50: 37). Bukan hanya sekedar tahu, tapi dikaitkan antar informasi, berkontemplasi. Kaitkan dengan realitas empirik (baik dari zaman dahulu atau sekarang). "Sesungguhnya dalam kisah umat terdahulu, adab yang disebutkan pada surat ini baik antar individu maupun kelompok, terdapat peringatan, nasehat, dan pelajaran bagi orang yang dapat mengambil pelajaran. Yaitu, orang-orang yang cerdas dan menyadari, memperhatikan, dan merenungkan fakta, penyebab, serta kesimpulannya." (Al-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir). 

You Might Also Like

0 comments