Women Scholars in Islam #2: Sejarah Ulama dan Cendekiawan Muslimah (1)

February 02, 2021

 


Pemateri: Dr. Alwi Alatas
Hari, tanggal: Ahad, 31 Januari 2021
Penyelenggara: Frasa (@frasa.in on Instagram)

Sebelum masuk pada pembahasan mengenai sejarahnya, kami diulangi lagi pemahaman mengenai keutamaan ilmu, karena ulama dan cendekiawan tentu berkaitan erat dengan ilmu. Ini penting karena mengingat sekarang pun muslimah banyak yang menuntut ilmu di lembaga pendidikan umum yang bisa saja pengetahuannya tercampur dengan pengaruh pemikiran barat, sehingga harus diluruskan terlebih dahulu. Menuntut ilmu merupakan suatu yang wajib bagi orang-orang beriman, baik laki-laki maupun perempuan. Orang-orang beriman dan berilmu diangkat derajatnya (QS. Al-Mujadalah/58: 11), serta dimudahkan jalannya ke surga (HR. Abu Daud). Kita wajib menuntut ilmu dari buaian sampai ke liang lahat, seumur hidup. Hal itu tercermin oleh para ulama zaman dahulu, ketika bagaimana para ulama mengisi dan menjaga waktu agar tidak terbuang sia-sia, dimana sebagian besar atau sepenuhnya untuk memperdalam ilmu. Bahkan ada yang tetap membaca buku saat perjalanan dari tempat duduk di majelis ilmu ke tempat ia akan mengambil ulang air wudhu. Atau ada kisah Imam Ath-Thabari ketika sedang sakit keras menjelang wafat dijenguk oleh teman-temannya kemudian dibacakan doa yang belum pernah beliau dengar, lalu beliau masih mau mencatat dan mengulang-ulang membaca doa tersebut hingga beliau meninggal (disarankan membaca buku Manajemen Waktu Para Ulama karya Syaikh Abdul Fattah).


Ilmu adalah sesuatu yang menjadikan seseorang takut kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Bukan malah berubah sombong, melupakan-Nya, atau justru menjadi tidak percaya pada agama. Ilmu membawa seseorang pada pengetahuan akan kedudukan Rabb-nya dan apa yang dijanjikan oleh-Nya, hingga ia yakin bahwa Al-Qur'an itu benar, para Nabi itu benar, akhirat itu benar, surga itu benar, neraka itu benar, dan tidak ada di dala hatinya keragu-raguan. Ilmu berbeda dengan prasangka (dzan), dan prasangka tidak memadai untuk sampai pada kebenaran. Ilmu-lah yang akan menghubungkan kita pada kebenaran.

Kadang seseorang memang tidak memiliki gelar, tidak pandai membuat argumen yang canggih dan rumit (paham mantiq, tafsir, logika, dan seterusnya), tapi keyakinannya kokoh tak tergoyahkan. Seperti kisah seorang wanita yang heran dengan Imam Al-Razi karena menyusun seribu dalil untuk membuktikan akan keberadaan Tuhan, karena menurutnya keberadaan Tuhan itu mutlak dan eksitensi-Nya tidak lagi butuh dijelaskan lagi. Tapi tentu di lain sisi, Imam Al-Razi melakukan hal tersebut untuk menjawab tantangan dari orang-orang yang masih tidak percaya tentang Tuhan.

Seperti yang dikatakan di sesi studium general Women Scholars in Islam sebelumnya (bisa di cek disini), bahwa menurut Syed Muhammah Naquib Al-Attas, ilmu itu adalah sampainya makna kepada jiwa, atau sampainya jiwa kepada makna dari sesuatu atau objek ilmu. Dengan ilmu seseorang mengetahui kedudukan berbagai hal serta hubungan diantara berbagai hal itu dan ia mengetahui akan kedudukan Rabb-nya sebagai Yang Maha Tinggi, kemudian ia menyikapi kedudukan itu semua sesuai adab yang benar. Kemudian menurut Al-Attas, ilmu dapat dibagi ke dua kategori, yaitu ilm dan ma'rifah. Akan panjang jika dibahas, namun secara singkat, ilm adalah sesuatu yang technical dapat kita pelajari lewat akal dan indrawi; sedangkan ma'rifah adalah sesuatu yang lebih mendalam, rinci, hingga membuat semakin dekat pada Allah, hingga Allah beri sendiri pemahaman kepada diri seseorang.

Seperti adakalanya seseorang memiliki ma'rifah yang menggambarkan hubungan yang dekat dengan Rabb-nya, sehingga ia diberi rezeki dari tempat yang tak diduga dan diberikan apa-apa yang dihajatkannya. Hal semacam ini juga bisa terjadi pada seseorang muslimah. Contohnya adalah kisah Maryam binti Imran dan Khaulah binti Tsa'labah.

"Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, "Hai Maryam, dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab, "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab." (QS. Ali Imran/3: 37)

"dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata, "Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu, dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu)." (QS. Ali Imran/3: 42)

"dan (ingatlah) Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagaian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Rabb-nya dan kitab-kitab-Nya, dan dia termasuk orang-orang yang taat." (QS. At-Tahrim/66: 12). Inilah esensi ilmu, setelah mempelajari, mengetahui, kemudian membenarkan. Bukan mendebat atau menyimpangkan makna.

Dari Abu Musa Al-Ash berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "laki-laki yang sempurna itu banyak, sedangkan perempuan yang sempurna itu adalah Maryam binti Imran dan Asiyah istri Fir’aun. Dan sesungguhnya keutamaan Aisyah diantara kaum wanita yang lain adalah seperti keunggulan tsarid (sejenis roti yang direndam dalam kuah, dianggap makanan paling lezat pada masa itu, favorit Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) dibanding makanan yang lain.” (HR. Ibnu Majah)

Di masa Rasulullah, ditemukan pula kejadian ketika perempuan menggugat. Surat Al-Mujadalah turun berkaitan dengan kasus yang dialami Khaulah binti Tsa'labah karena di zihar oleh suaminya, Aus bin Al-Shamit. Seorang muslimah harus taat pada suami, tapi boleh jadi saat suami berbuat salah dan istri menggugatnya, Allah mendengar gugatannya.

Diceritakan jika suatu hari, Khaulah binti Tsa’labah mendapati suaminya sedang menghadapi suatu masalah yang dengan masalah tersebut memicu kemarahan terhadap Khaulah, sehingga terucaplah dari mulut Aus perkataan: “Bagiku engkau ini seperti punggung ibuku.” Kemudian Aus keluar dan duduk-duduk bersama orang-orang. Setelah beberapa lama kemudian Aus masuk rumah dan menginginkan bersetubuh dengan Khaulah. Akan tetapi kesadaran hati dan kehalusan perasaan Khaulah membuatnya menolak hingga jelas hukum Allah terhadap kejadian yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah Islam (re: zihar). Khaulah pun berkata, Tidak…jangan! Demi yang jiwa Khaulah berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh menjamahku karena engkau telah mengatakan sesuatu yang telah engkau ucapkan terhadapku sehingga Allah dan Rasul-Nya memutuskan hukum tentang peristiwa yang menimpa kita.” Kemudian Khaulah keluar menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam untuk meminta fatwa dan berdialog tentang peristiwa tersebut. Rasulullah bersabda, Kami belum pernah mendapatkan perintah berkenaan urusanmu tersebut… Aku tidak melihat melainkan engkau sudah haram baginya.”

Sesudah itu, Khaulah senantiasa mengangkat kedua tangannya ke langit sedangkan di hatinya tersimpan kesedihan dan kesusahan. Bukan karena tidak mampu bersabar atas suaminya, tapi ia mencoba menanyakan haknya. Khaulah berdo’a, Ya Allah sesungguhnya aku mengadu tentang peristiwa yang menimpa diriku.” Tiada henti-hentinya wanita ini ini berdo’a hingga suatu ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pingsan (sebagaimana biasanya beliau pingsan tatkala menerima wahyu), kemudian setelah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam sadar, Beliau bersabda, “Wahai Khaulah, sungguh Allah telah menurunkan Al Qur’an tentang dirimu dan suamimu.” Kemudian Beliau membaca firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat,… dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang pedih.” (QS. Al Mujadalah/58: 1-4). Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menjelaskan kepada Khaulah tentang kafarah zihar, yaitu memerdekakan budak, jika tidak mampu puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu memberi makan sebanyak enam puluh orang miskin (HR. Abu Daud). Kita belajar dari bagaimana akhlak mulia Khaulah, beliau berdiri di hadapan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan berdialog untuk meminta fatwa, adapun istighatsah dan mengadu tidak ditujukan melainkan hanya untuk Allah ta’ala.

Di dalam Islam, kaum perempuan memang tidak dianjurkan untuk masuk ke sektor publik, melainkan lebih banyak memainkan peranan di dalam rumah tangga. Oleh sebab itu, kita jarang mendengar tentang kaum perempuan yang berkiprah di bidang ilmu pengetahuan atau bidang-bidang yang lain, meskipun demikian bukan berarti tidak ada sama sekali yang berperan di bidang itu. Di kalangan perempuan ada yang termasuk dalam kelompok shahabiyah (menjadi rujukan untuk meminta nasehat), fuqaha, perawi hadits, ahli tasawwuf, dan wali perempuan. Sebagaimana juga ada yang pernah menjadi sultanah, mujahidah dan pemimpin perang, serta pembesar kesultanan yang menjadi patron bagi madrasah, daarul hadits, dan zawiyah (tempat bagi kaum sufi). Ini ada di kasus-kasus tertentu, dimana mereka umumnya memiliki harta dan status sosial yang memampukan diri untuk melakukan hal tersebut. Banyak nama-nama tokoh muslimah di dalam buku-buku sejarah, misalnya bisa didapati pada buku yang ditulis oleh Abdul-Ghaffar Al-Farsi tentang para ulama di Kota Naisabur (Dzail Tarikh Naisabur) dimana hampir setiap halamannya ada section khusus untuk perempuan atau pada Tarikh Dimasyq yang ditulis oleh Abu Al-Qasim Ali bin Al-Husain bin Asakir Al-Dimisyqi (seorang ulama besar di Damaskus pada zaman Nuruddin Zanki dan Sholahuddin Al-Ayyubi) dimana kitab ini mencapai delapan puluh jilid yang diantaranya ada jilid khusus tentang perempuan. Tidak khusus berisi ulama muslimah saja, tapi juga penyair, keluarga dari emir/sultan, dan seterusnya. Serta tidak semua nama dibahas secara detail.

Pada masa generasi shahabiyah, rasa malu tidak pernah menghalangi mereka untuk tafaqquh fiddin. Dalam hadits riwayat Muslim, Aisyah radhiallahu 'anha bahkan memuji perempuan Anshar. Sebaik-baiknya perempuan adalah perempuan Anshar, yang mana rasa malu tidak menghalangi mereka untuk mempelajari agamanya. Ada banyak sekali contoh ulama dan cendekiawan muslimah pada zaman nabi. Misalnya, ada Ummu Sulaim (Rumaisha' binti Milhan), Ummu Salamah (Hindun binti Abu Umayyah), dan Aisyah binti Abu Bakar. 

Ummu Sulaim adalah istri dari Abu Thalhah radhiallahu 'anhu yang dinikahi dengan mahar bersyahadatnya Abu Thalhah (karena Ummu Sulaim masuk Islam terlebih dahulu), hingga para shahabiyah lain mengatakan bahwa tidak menemukan orang yang lebih baik maharnya daripada Ummu Sulaim. Ia menjadi ibu dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu yang diserahkan untuk menjadi budak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di umur 10 tahun saat Beliau hijrah ke Madinah. Kemuliaan Ummu Sulaim ini saking baiknya bahkan sampai diberitakan oleh Rasulullah dijaminkan surga (tidak hanya 10 orang saja sebetulnya), "Diperlihatkan surga kepadaku dan aku melihat istri Abu Thalhah..." (HR. Muslim). Ummu Sulaim pun termasuk perempuan yang diizinkan ke medan perang untuk menolong korban perang (HR. Muslim). Juga menjadi diantara sedikit wanita yang mampu menepati baiat untuk tidak meratap (kematian) (HR. Bukhari, Muslim). Dalam baiat tersebut, hanya 5 orang yang mampu menepati.

Di lain cerita, Ummu Sulaim dikenal sebagai perempuan yang tenang. Suatu ketika, anak Ummu Sulaim dan Abu Thalhah, yaitu Abu Umair, menderita sakit yang cukup parah. Pada saat yang sama, Abu Thalhah sedang ada keperluan keluar dalam waktu agak lama, dan ketika itu anaknya meninggal dunia. Karena suaminya tidak ada di rumah, Ummu Sulaim mengurus sendiri jenazah anaknya. Ia memandikan dan mengkafaninya serta membaringkannya di tempat tidur. Ketika Abu Thalhah pulang dengan kondisi sedang berpuasa sunnah, maka Ummu Sulaim pun menyiapkan makanan untuk berbuka. Ia juga berhias dan memakai wangi-wangian untuk menyambut suaminya. Saat Abu Thalhah bertanya tentang keadaan anaknya yang sakit, dan Ummu Sulaim menjawab, “Alhamdulillah, dia dalam keadaan yang baik-baik saja. Engkau tidak perlu memikirkan keadaannya lagi.” Abu Thalhah menjadi tenang, ia meneruskan makannya. Malam itu ia juga menggauli istrinya, kemudian tertidur. Ketika bangun pagi harinya, Ummu Sulaim yang sudah bangun terlebih dulu bertanya, “Wahai suamiku, seandainya seseorang diberi suatu amanah, kemudian pemiliknya mengambilnya kembali, haruskan ia mengembalikannya kembali?” Abu Thalhah menjawab, “Tentu, ia harus mengembalikannya, ia tidak punya hak untuk menyimpannya.” Mulailah Ummu Sulaim menjelaskan keadaan anaknya, “Suamiku, Allah telah mengamanatkan Abu Umair kepada kita, namun kini Dia telah memanggilnya kembali kemarin.”

Mendengar penuturan ini Abu Thalhah jadi kaget, bahkan sedikit marah. Ia menyesali kenapa Ummu Sulaim tidak memberitahukannya semalam. Ia menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengadukan apa yang dilakukan istrinya. Ternyata Rasulullah memuji kesabaran dan apa yang dilakukan Ummu Sulaim tersebut, beliau juga mendoakan, “Semoga Allah memberkati hubunganmu tadi malam dengan istrimu.” Doa ini mustajab, dari hubungannya itu Ummu Sulaim melahirkan seorang anak yang diberi nama Abdullah bin Abu Thalhah dan di tahnik oleh Rasulullah. Di kemudian hari, Abdullah mempunyai sembilan anak yang semuanya hafal Al-Qur’an.

Selanjutnya, ada Ummu Salamah. Ummu Salamah termasuk yang awal masuk Islam bersama suaminya, Abu Salamah. Ikut hijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah. Sempat terpisah dari suaminya saat hendak hijrah ke Madinah dan baru bisa menyusul kemudian dengan anak-anaknya. Abu Salamah wafat pasca Perang Uhud, tak lama Ummu Salamah diambil sebagai istri oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Berbeda dengan Ummu Sulaim, Ummu Salamah termasuk dalam deretan shahabiyah yang banyak meriwayatkan hadits, yakni sebanyak 622 hadits. Yang neriwayatkan darinya antara lain anak-anaknya, seperti Umar dan Zainab; serta para sahabat seperti Abu Said Al-Khudri, Said bin Al-Musayyib, Urwah bin Zubair, Aisyah binti Abu Bakar. Beliau berumur panjang dan wafat pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah, tepat di tahun terbunuhnya Husain bin 'Ali radhiallahu 'anhu.

Salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah adalah do'a yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam saat tertimpa musibah: "Ummu Salamah berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Siapa yang ditimpa musibah kemudian berkata seperti yang disuruh Allah, "sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, berikanlah aku ganjaran atas musibah yang menimpa diriku dan gantikanlah dengan yang lebih baik daripadanya," melainkan Allah akan melakukan yang demikian itu. Ummu Salamah berkata, "ketika Abu Salamah wafat, aku mengatakan seperti do'a yang diajarkan oleh Rasulullah, aku berkata, "siapa yang lebih baik dari Abu Salamah, maka Allah menggantikannya dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam."" (HR. Malik). 

Lalu, ada Aisyah binti Abu Bakar. Termasuk shahabiyah yang 'alim. Beliau diambil istri oleh Rasulullah saat berusia kurang lebih 7 tahun (ada yang mengatakan 6 tahun), 2 tahun sebelum Rasulullah hijrah, dan serumah dengan Rasulullah pada tahun kedua hijriah (berusia sekitar 11 tahun). Banyak orang modern yang mencela pernikahan ini karena dianggap seolah pernikahan dengan anak-anak (zaman sekarang tidak diperbolehkan), gadis yang sangat belia. Padahal hingga seabad yang lalu, masyarakat di berbagai negeri, termasuk di Barat, dianggap hal lazim. Tidak ada musuh Rasulullah di era itu yang mencela pernikahan ini, serta tidak memberi dampak negatif pula pada Aisyah. Pernikahannya justru membawa banyak kebaikan. Kita tidak bisa menilai sejarah di masa lalu sepenuhnya dengan cara pandang modern, harus paham konteks.

Aisyah merupakan seorang perempuan yang cerdas. Beliau bersama Rasulullah sejak usia belia dan kemudian menjadi perawi terbanyak dari hadits-hadits Rasulullah di kalangan shahabiyah (sekitar 2.210 hadits), didukung karena ada hal-hal yang tidak mungkin diamati oleh para sahabat tetapi hanya diketahui oleh istri-istri Rasulullah. Beliau juga dikenal sebagai fuqaha (ahli fiqih). Para sahabat kadang meminta pandangan dan/atau penjelasan tentang perkara-perkara hukum tertentu. Ini menunjukkan pengakuan akan luas dan dalamnya ilmu beliau. Banyak yang meriwayatkan darinya, termasuk sahabat dan para tabi'in (Aisyah terkadang juga jika melihat ada bayi-bayi para sahabat yang berpotensi menjadi ulama meminta agar bayi-bayi tersebut disusui oleh mahramnya agar terikat dengan hubungan saudara sepersusuan).

Beberapa contoh kejadian dimana Aisyah dimintai pendapat dituliskan dalam buku Peran Perempuan Shahabiyah dalam Periwayatan Hadits karya Rabiatul Aslamiyah diantaranya:

  1. Umar bin Khattab menyuruh bertanya kepada Aisyah tentang mandi janabat setelah jima' yang tidak keluar air mani, setelah terjadi perbedaan pendapat tentang hal itu;
  2. Muawiyah bin Abu Sufyan pernah mengirim surat kepada Aisyah menanyakan tentang hadits, setelah ia tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari sahabat lain;
  3. Ibnu Abbas mengakui bahwa Aisyah adalah orang yang paling paham tentang Shalat Witir Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam;
  4. Ibnu Abbas, Abdurrahman bin Azhar, dan Al-Musawwar bin Makhramah mengutus Kuraib untuk bertanya kepada Aisyah tentang shalat sunnah 2 rakaat sesudah ashar;
  5. Abdullah bin Umar menanyakan kepada Aisyah tentang riwayat Abu Hurairah mengenai pahala 2 qirath bagi orang yang menshalatkan dan mengantarkan jenazah sampai ke kubur (HR. Muslim).
Ada pula perawi hadits terkenal lain seperti istri-istri Rasulullah selain Aisyah: Maimunah binti Al-Harits, Hafshah binti Umar, Saudah binti Zam'ah, Juawiriyah binti Al-Harits, Ummu Habibah (Ramlah), Shafiyyah binti Huyay, Zainab binti Jahsy; atau diluar itu, seperti Ummu Hani binti Abi Thalib, Asma' binti Abu Bakar, Fatimah binti Qays, Ummu Darda', Asma' binti Yazid (Ummu Amir, sepupu Muadz bin Jabal, ia membunuh 9 orang Romawi pada Perang Yarmuk dengan palang tenda, meriwayatkan tentang baiat perempuan), Nusaibah binti Kaab (Ummu Atiyyah, ikut dalam baiat Aqabah kedua, ikut berjihad dalam perang sebagai penolong korban di beberapa kesempatan), dan sebagainya.

Pada generasi berikutnya, terdapat contoh perempuan ahli ibadah (sufi) seperti Rabiah Al-Adawiyah yang hidup di era Hasan Al-Bashri, ada pula Hawla binti Buhlul yang hidup di awal Bani Abbasiyah pada era fitnah Al-Qur'an (khalifah saat itu menyatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk), Khadijah binti Ali Al-Basriyyah yang meriwayatkan hadits dari ayahnya dari jalur Ibnu Abbas, Khushaylah binti Watsilah bin Al-Asqa' di Damaskus yang meriwayatkan hadits dari ayahnya dan diteruskan riwayatnya oleh beberapa perawi lainnya.

Tak lupa, ada Aminah binti Umar bin Abdul Aziz. Suaminya adalah Sufyan bin Ashim bin Abdul Aziz bin Marwan. Ia meriwayatkan hadits dari Maimunah binti Saad. Dalam kehidupannya, ada kejadian menarik tentang ke-zuhud-an dan kesederhanaan Aminah ketika ia pernah tak datang saat dipanggil ayahnya. Saat ditanya, ia mengatakan bahwa auratnya tidak tertutup sempurna (karena kekurangan pakaian). Umar kemudian mengupayakan pakaian bagi putrinya tersebut. Saat pakaian diantarkan kepadanya oleh seseorang, Aminah berkata, "Jangan lagi meminta sesuatu kepada Umar." (Tarikh Dimasyq, 69/41-2).

Mereka semua bukan hanya orang-orang yang berilmu dan memahami ilmunya dengan baik, tetapi juga orang-orang yang berusaha sungguh-sungguh dalam mengamalkannya. Yang dicari bukan pengakuan manusia, tetapi ridha dari Tuhannya; bukan kejayaan duniawi, melainkan kesuksesan ukhrawi.

You Might Also Like

0 comments