Kelas Spesial Feminisme (Kurikulum 2): Sejarah dan Aliran Feminisme

September 27, 2020

 


Pemateri: Esty Dyah Imaniar, S. S.
Hari, tanggal: Sabtu, 19 September 2020
Penyelenggara: Nisaa' SKI FIB UNS (@aisaka_skifib on Instagram)

Istilah feminism pertama kali digunakan pada tahun 1837 oleh seorang filsuf Prancis, Charles Fourier, untuk menggambarkan kegiatan perjuangan hak-hak perempuan. Namun, kemunculan kata ini dalam literatur berbahasa Inggris baru dimulai pada tahun 1890-an. Dalam praktiknya pun istilah womanism atau woman movement lebih banyak digunakan untuk menggambarkan maksud yang sama.

Secara bahasa, feminis berasal dari kata femina (bahasa Latin) yang berarti perempuan. Akan tetapi, jika diulik lebih lengkap mengenai istilah “feminis” di awal penggunaannya dalam kamus-kamus pada masa itu (hingga tahun 1960-an), kata ini justru bermakna negatif. Di Inggris sendiri, istilah feminis dilekatkan dengan olok-olok sebagai “real humor”. Sedangkan di Jerman, feminis disebut sebagai “openly socialist”. Karena amat negatifnya, media cetak pun sangat menghindari penggunaan istilah-istilah berbau feminisme seperti suffragist, suffragettes, dan lainnya. Pemaknaan negatif ini memang erat kaitannya dengan penolakan masyarakat terhadap aktivitas para feminis.

Meski begitu, kritik terhadap istilah “feminis” ternyata muncul pula dari penulis perempuan yang karya-karyanya menjadi acuan bagi para feminis generasi awal. Virginia Woolf dalam bukunya "Three Guineas" dengan keras menyatakan feminis adalah kata yang tidak bermakna. Istilah feminis memiliki arti seseorang yang memperjuangkan hak-hak perempuan, sedangkan hak-hak tersebut (pada gelombang awal feminisme) sudah terpenuhi sehingga istilah feminis tidak lagi relevan. Kata yang tidak memiliki makna, menurut Woolf, adalah “a dead word, a corrupt word” sehingga tidak seharusnya dipertahankan. Pernyataan Woolf bahwa perjuangan gerakan perempuan telah selesai dengan tercapainya tuntutan gelombang pertama feminisme jelas dibantah oleh para aktivis feminis. Menurut mereka, kondisi perempuan masih sangat jauh dari kesetaraan dengan kaum lelaki dalam berbagai aspek sehingga istilah feminis masih valid digunakan. Tetapi karena sejarah yang bermasalah, sangat sedikit perempuan yang kemudian terlibat dalam gerakan perjuangan hak-hak perempuan dan mau menyebut diri mereka sebagai feminis. Ketika gerakan perempuan semakin terorganisasi pada tahun 1970-an, mereka menamai diri dengan Women’s Liberation atau biasa dikenal dengan Women’s Lib yang mengambil spirit pembebasan (liberation) dari gerakan pembebasan kelompok kulit hitam (Civil Right’s Movement).

Istilah feminis ketika mendapat imbuhan –isme, (sama seperti pada nasionalisme, kapitalisme, liberalisme, dan lainnya) maka akan berubah makna menjadi sebuah paham, ideologi, atau bahkan pandangan hidup (worldview). Meskipun menyebut feminisme sebagai pandangan hidup dirasa berlebihan bagi beberapa orang, faktanya cara pandang feminisme telah menjadi gerakan yang mendobrak secara masif kemapanan paradigma di banyak aspek kehidupan, mulai dari sosial, politik, budaya, hingga agama. Sehingga dalam perkembangannya, feminisme tidak hanya memperjuangkan hak-hak kesetaraan perempuan, tetapi juga kaum marjinal lain seperti LGBTQ bahkan lingkungan (alam). Hal ini sesuai dengan bagaimana Rosemarie Tong menggambarkan ideologi feminisme dalam tiga kata: interdisciplinary, intersectional, dan interlocking. Ideologi lintas bidang seperti ini yang menyebabkan pemikiran para feminis tidak tunggal (monolitis) dan berkembang menjadi banyak aliran yang masing-masing memiliki perbedaan pendekatan, perspektif, dan kerangka berpikir dalam melihat pengalaman ketertindasan. Pertanyaanya kemudian, jika memang bertujuan untuk mencapai kesetaraan kaum terpinggirkan secara luas, kenapa namanya harus feminisme? Kenapa tidak ekualisme? Atau humanisme saja, agar lebih umum dan tidak terkesan hanya memperjuangkan kaum perempuan hingga dicurigai sebagai gerakan pembenci kaum lelaki?

Hal tersebut dapat didasarkan oleh fakta bahwa dalam sejarah Negara Barat, tempat peradaban di mana feminisme ini lahir, perempuan kondisinya bahkan tidak dianggap sebagai human sehingga kemanusiaannya tidak diperjuangkan. Meskipun secara formal pergerakan feminisme baru dimulai abad 17-an, akar penindasan yang berasal dari cara pandang diskriminatif terhadap perempuan sudah dimulai sejak zaman klasik. Misalnya pada bagaimana Aristotle menilai perempuan sebagai laki-laki yang cacat (defect male). Atau bagaimana Immanuel Kant menilai perempuan lebih rendah dari laki-lagi secara kognitif maupun moral. Atau bagaimana Thomas Aquinas, filsuf sekaligus rohaniawan, yang kala itu berpendapat bahwa perempuan adalah laki-laki yang diharamkan.

Pada masa abad pertengahan atau yang biasa dikenal sebagai The Dark Ages, kondisinya lebih diperparah lagi. Institusi Gereja memegang kendali kuasa yang sangat besar di masyarakat Eropa saat itu. Bahkan, melalui salah satu lembaganya yang bernama Mahkamah Inkuisisi, kekuasaan tersebut seringkali disalahgunakan dengan melibas individu, kelompok, dan gerakan apapun yang dianggap bertentangan dengan Institusi Gereja, termasuk ilmu pengetahuan sekalipun. Termasuk bagaimana Institusi Gereja memperlakukan kaum hawa, dimana perempuan dianggap sebagai sumber “dosa asal” yaitu karena bagaimana leluhur perempuan yaitu Eve (Hawa) menjadi iblis yang mempengaruhi Adam memakan buah terlarang sehingga keduanya diusir dari surga. Perempuan juga dianggap sebagai penyihir jahat sehingga diburu dan dibakar. Bahkan dalam perspektif keagamaan, seorang lelaki suci yang memilih hidup melajang seumur hidup atau selibat juga dipengaruhi penilaian bahwa berdekatan dengan perempuan memberi pengaruh buruk.

Sejarah kelam perempuan dalam peradaban Negara Barat inilah yang kemudian menjadikan feminisme hadir sebagai sebuah set of belief atau ideologi. Lebih tepatnya, ideologi yang berkeyakinan bahwa perempuan, hanya karena dirinya perempuan, diperlakukan tidak adil dalam masyarakat yang secara sistematis menjadikan laki-laki sebagai pusat nilai dan kebenaran. Sistem masyarakat yang dimaksud adalah patriarki, konsep kunci segala aliran feminisme yang tidak pernah berubah sehingga memungkinkan ideologi ini dinilai sebagai worldview. Sebab perjuangan inti feminisme adalah perlawanan terhadap tatanan patriarki dalam masyarakat melalui sistem politik gender.

Berdasarkan sejarahnya, ada tiga periode/gelombang kemunculan feminisme, dengan masing-masing karakteristik gerakan yang berbeda pula. Penjelasan dalam poin berikutnya merupakan contoh ilustrasi sederhana yang semoga tidak menjadi simplifikasi (jika berminat mendalami masing-masing periode dan aliran feminisme, silahkan telusuri beberapa bacaan dasar untuk referensi yang sudah dicantumkan di bagian paling bawah catatan ini).
  1. Gelombang Pertama: dimulai sekitar tahun 1792. Dalam perkembangannya, setidaknya ada tiga jenis aliran feminisme yang muncul, yaitu feminisme liberal, radikal dan sosialis-marxis. Fokus perjuangan feminisme gelombang pertama adalah hak sipil dan politik (liberal), hak reproduksi dan seksualitas (radikal), serta hak ekonomi dan kepemilikan (marxis-sosialis). Beberapa tokoh yang dikenal dari gelombang pertama di antaranya Mary Wollstonecraft, Elizabeth Cady Stanton, dan Betty Friedan.
  2. Gelombang Kedua: dimulai pada tahun 1949, beberapa aliran yang berkembang semasa gelombang kedua di antaranya feminisme psikoanalisis dan eksistensialis. Sebenarnya, isu-isu yang diperjuangkan tidak jauh berbeda dengan gerakan gelombang pertama, hanya lebih mengakar (radikal). Misalnya, bagaimana feminisme psikoanalisis menilai penindasan terhadap perempuan telah menyatu pada cara berpikir mereka. Selain itu, perluasan dan penguatan beberapa isu seperti dominasi seksualitas masyarakat juga digugat melalui kampanye hak-hak homoseksualitas. Tokoh yang paling terkenal di era ini adalah Simone de Beauvoir dengan karyanya "The Second Sex". 
  3. Gelombang Ketiga: dimulai pada tahun 1980, dimana pada masa ini dapat dikatakan sebagai gelombang yang penuh warna, sebab kritik internal terhadap feminisme semakin banyak disampaikan. Misalnya bagaimana para feminis kulit berwarna merasa tidak terwakilkan dengan suara para feminis kulit putih di gelombang sebelumnya, atau bagaimana para feminis LGBT merasa tidak terwakilkan dengan perjuangan feminis heteroseksual. Gelombang ini juga sangat dipengaruhi post-modernisme yang menolak konsep-konsep besar khas modernisme seperti yang disuarakan “feminis kulit putih” dan menghargai isu-isu personal seperti seksualitas dan identitas khas “feminis kulit berwarna dan LGBT”. Oleh karena itu, aliran baru yang berkembang di masa ini misalnya feminisme postmodernis dan multikulturalis. Meski tidak sepopuler aliran lain, ekofeminisme juga semakin berkembang di masa ini.

  • Feminis Liberal
Gerakan feminis liberal mulai berkembang pada abad ke-18 dengan premis dasar natural rights ala John Locke, bahwa setiap manusia mempunyai hak asasi (hak hidup, mendapat kebebasan, mencari kebahagiaan). Memasuki abad ke-20, gerakan ini melakukan aktivisme lanjutan dengan kata kunci equal rights atau kesetaraan atas hak-hak dasar tersebut. Sehingga fokus perjuangan kelompok ini adalah hak sipil dan politik perempuan. Para feminis liberal mengusung ide bahwa perempuan juga merupakan makhluk yang sama dengan pria, dan mempunyai hak yang sama pula dengan pria. Sehingga jika perempuan ingin meraih kebahagiaan, standarnya adalah kebahagiaan materialistis maskulin, yaitu standar yang bersumber dari dunia publik dan rasionalitas manusia. Dalam tataran yang lebih ekstrim, parameter keberhasilannya adalah kesetaraan 50:50 (fifty-fifty). Kritik terhadap kelompok ini setidaknya muncul dari dua golongan, yaitu kaum feminis konservatif yang menolak hak kontrasepsi dan aborsi yang diperjuangkan feminis liberal; serta kaum feminis radikal yang menginginkan adanya perjuangan untuk hak-hak seksualitas termasuk advokasi LGBT.

  • Feminis Radikal
Premis dasar aliran ini yaitu ketidakadilan gender bersumber dari perbedaan biologis antara lak-laki dan perempuan. Sehingga fokus perjuangannya yaitu pada hak-hak reproduksi dan seksualitas. Meskipun aliran ini secara kuantitas lebih kecil dari kelompok liberal, feminis radikal bercita-cita meningkatkan kesadaran perempuan terhadap kekerasan (biologis) yang dialami perempuan. Mereka bercita-cita untuk mengubah struktur masyarakat yang elitis, kapitalis, kompetitis, dan individualistis menjadi sebuah sistem sosial yang egaliter, kooperatif, berbasis komunitas dan persaudarian.

Setidaknya, terdapat dua aliran dominan di kelompok ini, yaitu feminis radikal-libertarian dan feminis radikal-kultural. Yang membedakan keduanya adalah kelompok radikal-kultural tidak hanya menentang dominasi heteroseksualitas tetapi juga berpendapat tidak ada konsensus dalam hubungan heteroseksual manapun, alias hasrat murni antara perempuan dan laki-laki sebagai insan yang setara adalah omong kosong bagi mereka. Sehingga, menurut kelompok ini hanya komunitas lesbian yang bisa menghadirkan hubungan seksual penuh konsen di tengah masyarakat patriarki. Sedangkan menurut feminis radikal-libertarian, pihak perempuan selalu mampu memberi konsen (persetujuan) yang sesungguhnya dalam sebuah hubungan biologis. Konsekuensinya, jika seorang perempuan dengan persetujuan (konsen) menjadikan dirinya sebagai pelaku lesbian sadomasokis atau relasi dominasi/subordinasi seksual lainnya, termasuk dengan menjadikan dirinya seorang pekerja prostitusi, hal tersebut tidak bisa disebut objektifikasi atau kesadaran palsu.

Yang menjadi tantangan bagi kelompok feminis radikal di abad ini adalah menciptakan dunia egaliter dimana perempuan dan laki-laki bisa bebas memiliki relasi yang terlepas dari sistem keluarga tradisional (lelaki sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai “penyedia seks”), bagaimana kelompok lesbian bisa berlepas dari pola hubungan butch-femme, bagaimana hubungan seksual dalam masyarakat bisa menyediakan ruang bagi relasi “man-boy” (pedofilia) dan “parent-child” (incest), bagaimana masyarakat dengan kelompok lesbianisme dapat berkembang biak dengan menggunakan jasa rahim titipan atau teknologi reproduksi artifisial, atau membiarkan hubungan tersebut sebagai bentuk kontrol kelahiran manusia.

  • Feminis Marxis-Sosialis
Aliran ini berpijak teori Karl Marx dan Friedrich Engels yang mempermasalahkan konsep kepemilikan pribadi dalam masyarakat kapitalis Barat dan menganalogikan perkawinan sebagai lembaga yang melegitimasi laki-laki memiliki istri (perempuan) secara pribadi. Sehingga perempuan hanya bisa dibebaskan dari penindasan jika sistem ekonomi kapitalis diganti dengan masyarakat sosialis. Hal ini pertama-tama dilakukan dengan menciptakan sistem yang egaliter dalam keluarga sebagai sistem sosial terkecil dalam masyarakat.

Selain itu, untuk membebaskan perempuan dari penindasan dalam keluarga menurut Engels adalah dengan mengajak perempuan untuk masuk ke sektor publik. Dalam hal ini, lagi-lagi standar nilai yang digunakan untuk menilai produktivitas perempuan adalah standar materi, dengan analogi keberhasilan (material) standar maskulin. Dengan proses bertajuk pemberdayaan perempuan, diharapkan para perempuan dapat melawan penindasan dengan menjadi sosok maskulin yang berani melawan laki-laki. Sehingga, untuk melakukannya, perempuan perlu mengadopsi kualitas maskulin, salah satunya dengan meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan feminine role dan berfokus pada pekerjaan di luar rumah yang menghasilkan uang (merebut kerja produksi). Hal tersebut pulalah yang kemudian menjadi kritik internal kaum feminis ini. Dimana semua pekerjaan publik yang mempunyai nilai ekonomi sangat bergantung pada produk-produk yang dihasilkan pekerjaan rumah tangga, misalnya makanan siap saji, hunian dan pernak-perniknya, dan sebagainya. Bahkan, sederhananya manusia-manusia yang bekerja di sektor publik harus “diproduksi” oleh sektor domestik.

  • Ekofeminisme
Ekofeminisme berangkat dari keyakinan perjuangan menghentikan kekerasan terhadap perempuan berkelindan dengan kekerasan terhadap alam karena pandangan eksploitatif patriarki terhadap keduanya sebagai hanya material kebendaan. Maka selain menekankan bagaimana manusia menindas manusia lain melalui relasi-relasi tidak setara di antara mereka (patriarki), ekofeminisme juga berfokus pada dominasi manusia terhadap dunia non-manusia atau lingkungan hidup.

Lebih jauh lagi, menurut para ekofeminis karena perempuan secara budaya lebih terikat pada alam, maka terdapat koneksi konsepstual, simbolis, dan linguistik antara feminis dan isu-isu ekologis. Hubungan tersebut misalnya bagaimana secara linguistik perempuan “dinaturalisasi” lelaki dengan mendapat deskripsi diri melalui istilah-istilah hewan seperti chicks, bitches, oldbats, pussycats, dan yang serupa. Namun, di sisi lain, alam “difeminisasi” lelaki ketika tindakan penguasaannya disebut dalam istilah-istilah seperti mastered, raped, controlled, penetrated.

Menariknya, para deep ecologist mengkritik tradisi Kristen yang menggunakan ayat-ayat Alkitab sebagai pembenaran praktik ekologi dangkal. Mereka mengkritik bagaimana Alkitab memerintahkan manusia untuk “menundukkan” bumi, “menaklukan" ikan di laut dan burung di udara, serta semua yang hidup di bumi dengan penempatan lingkungan hidup sebagai material semata. Amanah alkitabiah untuk mendominasi alam yang disertai orientasi Kristen dan bersifat antroposentrik dinilai menjadi penyebab munculnya pendekatan ke alam yang bersifat destruktif terhadap lingkungan. Pasalnya, ajaran yang disajikan secara negatif bisa membuat seseorang mengalami krisis yang manifestasinya adalah perilaku-perilaku destruktif terhadap alam lingkungan.

Perbedaan spiritualisme dan kondisi teologi dimana ekofeminisme lahir membuat para spiritual ekofeminis pada akhirnya melihat agama Yahudi dan Kristen sebagai ajaran patriarki yang tidak memberi ruang pengaturan semesta pada perempuan. Lebih lanjut, mereka menyarankan perempuan untuk meninggalkan gereja dan sinagog untuk kembali pada alam dan mempraktikkan spiritualisme berbasis alam yang beragam, salah satunya melalui penyembahan dewa alam melalui ritual penduduk asli Amerika (Suku Indian). Mereka percaya bahwa kebudayaan yang memandang tubuh perempuan dan bumi sama sakralnya akan menghormati ritme tubuh mereka. 

Bertolak dari pemahaman ini, para spiritual ekofeminis kerap menarik analogi antara peran perempuan dalam reproduksi dengan peran “mother earth” dalam menyemai kehidupan bagi makhluk di atasnya. Karena relasi khusus inilah ekofeminis berkeyakinan perempuan memiliki hubungan yang lebih khusus terhadap alam dibandingkan laki-laki. Melalui pengalaman ketubuhan yang khas (menstruasi, kehamilan, melahirkan, menyusui), perempuan dinilai lebih memahami bagaimana manusia dan alam menyatu. Jika dilihat dari sejarah kelahirannya, kemudian perkembangan (baik secara epistemologi, ontologi, aksiologi), konsep feminisme ini memang sangat sesuai konteks Negara Barat. Sehingga jika ditanyakan apakah masih relevan dengan tuntutan kehidupan dan nilai-nilai yang mereka miliki (di Barat), tentu saja jawabannya masih relevan, sehingga feminisme dapat terus berkembang. 

Pertanyaannya berikutnya adalah, apakah feminisme relevan untuk semua wilayah? Sedangkan hal itulah yang menjadi kritik banyak akademisi bahkan aktivis, serta menjadi kritik internal dari gerakan feminisme sendiri. Misalnya, pada konsep ekofeminisme. Sekalipun ini dikatakan sebagai aliran yang "paling aman" untuk banyak wilayah, tetap dinilai bahwa nilai-nilai dasarnya tidak berlaku secara universal. Argumen Karen J. Warren sebagai salah satu “peletak batu pertama” ekofeminisme bahwa perempuan seringkali disamakan dengan alam secara fisik sehingga lahir “dominasi” secara lingustik, misalnya, yang bahkan tidak bisa kita temukan di Indonesia. Konsep “naturalisasi” perempuan oleh lelaki melalui panggilan hewani seperti chicks, bitches, old bats, dan pussycats memang terjadi di Negara Barat, tetapi dalam konteks lokal di Indonesia, panggilan hewani dalam konotasi negatif seperti itu justru banyak disematkan untuk lelaki. Misalnya; kucing garong, buaya darat, dan sebagainya. Memang benar asosiasi perempuan dengan alam secara linguistik juga terjadi di Indonesia. Dalam karya sastra misalnya bagaimana (maaf) payudara digambarkan sebagai gunung kembar dengan segala atribusinya. Atau tatapan mata yang cantik divisualisasikan bagai kemilau bintang di angkasa. Tetapi, perlu dicatat bahwa deskripsi alam seperti itu juga dilakukan terhadap lelaki. Misalnya, tatapan matanya yang tajam bagaikan elang. Jadi, poin dominasi perempuan sama dengan alam menurut konsep ekofeminisme sebenarnya tidak bisa digeneralisasi sebagai kondisi umum seluruh wilayah.

__________

Meskipun sama-sama memperjuangkan hak-hak perempuan dan kaum marjinal melalui feminisme, tidak jarang terjadi kritik atau pertikaian antar-aliran feminisme. Sampai-sampai ada ejekan yang cukup populer terhadap kelompok feminis: women(ism) are strong because they kill each other. Misalnya, feminis postmodernis yang menolak segala pemikiran dengan pendekatan single explanation sehingga semua suara perempuan wajib diberi ruang. Bagi mereka, tidak mengapa bagi perempuan untuk menjadi feminis apapun yang mereka inginkan. Tidak ada one single definition of being a good girl alias "pembebasan perempuan" itu relatif.

Jika di Indonesia, kelompok ini bisa dilihat pada teman-teman yang sering diolok-olok sebagai "feminis nanggung". Alih-alih melakukan perjuangan intersectional yang inklusif, mereka justru mengampanyekan kalau menjadi feminis tidak berarti harus mendukung LGBT atas nama hak, menjadi feminis tidak berarti harus menyetujui seks bebas dan prostitusi atas nama otoritas tubuh, dan lain-lain. Semacam menjadi "feminis yang baik" dengan tidak melanggar keyakinan keagamaannya. Sementara itu, konsep "feminis yang baik" ini dinilai politically incorrect atau tidak sesuai bagi ideologi feminisme secara umum. Sebab, jika ada feminis yang baik (dengan tetap berpegang pada prinsip keagamaan), berarti adakah feminis yang tidak baik? 

Padahal, dalam sejarahnya feminis gelombang ketiga lahir dengan tujuan penghapusan narasi "good feminist" seperti itu dengan prinsip diversity and intersectionality. Sederhananya, prinsip-prinsip ini yang membuat seseorang tidak bisa mengaku feminis jika dia menginginkan kesejahteraan perempuan (kulit putih) tetapi masih bersikap rasis terhadap perempuan kulit hitam. Atau seseorang tidak bisa mengaku feminis jika memperjuangkan kesetaraan gender perempuan tetapi menolak LGBT. Sebab, perjuangan hak perempuan saling berkaitan dengan hak kaum minoritas dan terpinggirkan lainnya. Bahkan termasuk di antaranya hak-hak alam semesta.

Meski begitu, prinsip intersectional ini belum begitu diketahui banyak perempuan yang mengaku diri feminis, terutama mereka yang belum benar-benar mempelajari ideologi ini secara akademik, terutama di Indonesia sendiri. Bisa dibilang, itulah kenapa beberapa media edukasi feminisme populer di Indonesia sering menyatakan: "educate yourself!" atau "edukasi diri, dong!" kepada teman-teman yang masih bingung antara ingin menjadi feminisme tetapi tidak mendukung seluruh gerakannya.

Jadi, apakah kamu termasuk salah satu yang pernah di-gaskan buat mengedukasi diri? 

__________

Referensi:
  1. Audre Lorde.1974. "Age, Rage, Class, and Sex: Women Redefining Difference” dalam Sister Outsider: Essays and Speeches. New York: The Crossing Press.
  2. Juliet Mitchell and Ann Oakley. Collection of Essays: Who’s Afraid of Feminism?
  3. Margareth Walters. 2005. Feminism: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press.
  4. Rosemarie Tong. 2009. Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. Philadelphia: Westview Press.
  5. Sheila Rowbotham. 1992. Women in Movement: Feminism and Social Action. New York: Routledge.
  6. Sarah Gamble (Ed.). 2006. The Routledge Companion to Feminism and Postfeminism. New York: Routledge.
  7. Virginia Woolf. 1938. Three Guineas.

You Might Also Like

0 comments