Kelas Spesial Feminisme (Kurikulum 1): Budaya Ilmu dan Pengantar: Islamic Worldview
September 16, 2020Hari, tanggal: Sabtu, 12 September 2020
Penyelenggara: Nisaa' SKI FIB UNS (@aisaka_skifib on Instagram)
Urgensi mengenai pandangan Islam ini salah satunya
dipaparkan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas sebagai salah satu tokoh pemikir (filsuf) muslim, bahwa
problem umat Islam saat ini sesungguhnya memang bermuara pada problem ilmu.
Umat Islam masih memiliki gap akan ilmu, kebingungan akan ilmu, dimana hal
tersebut semakin berdampak pada kemampuan kita untuk menemukan solusi atas suatu
permasalahan, karena bisa jadi ilmu yang digunakan masih tidak benar, atau ada
kekeliruan terhadap pemahaman seseorang akan ilmu tersebut. Maka, sebelum
memahami suatu ilmu, penting untuk dapat mengetahui bagaimana kedudukan ilmu
tersebut, bagaimana struktur berpikir secara konsep, bagaimana hakikatnya, agar
kedepan bisa menjadi suatu tolak ukur dalam bertindak secara tepat, terutama
dalam kacamata Islam.
Sekilas balik, ketika ditanya tentang apa makna Islam
itu sendiri, tentu jawaban setiap individu secara tidak sadar akan mencerminkan
atau merepresentasikan bagaimana individu itu memaknai Islam dalam kehidupan
sehari-hari. Apakah untuk ritual syariat? Yang berarti pada lingkup ibadah/amalan
yang memang membedakan Islam dengan ajaran lain, seperti shalat, puasa, zakat, sedekah,
dan semacamnya. Apakah untuk ajaran moral? Yang ketika terlintas dalam pikiran
adalah nilai/substansi terlebih dahulu, dengan konsekuensi bahwa bukan tidak
mungkin akan ada kecenderungan untuk membenarkan semua agama, padahal jika ditelaah,
ketika kita sudah ber-Islam, barang tentu kita akan mengesampingkan agama lain
(tidak percaya dan tidak mengakui). Atau apakah untuk pandangan hidup? Yang
dengannya dapat menggerakkan ritual syariat atas dasar ajaran moral,
mengkompilasikan kedua hal tersebut secara ideal karena Islam adalah ideologi,
dan ideologi secara definisi diartikan sebagai pandangan hidup. Meskipun memang
pada kenyataannya sulit untuk adil sejak dalam pikiran (mengutip dari
pernyataan salah satu sastrawan Indonesia: Pramoedya Ananta Toer).
Pertama, sebelum mengupas mengenai pandangan Islam
lebih lanjut, mungkin perlu sejenak kita renungkan, mengapa Islam dijadikan sebagai
pandangan hidup? Adakah hubungannya dengan penyebutan Islam sebagai diin,
religion, atau agama? Jika dilihat dalam definisinya, penyebutan diin dalam
Islam memang unik, karena akar kata dari diin yang jamak, diantaranya dayn
(hutang), dayana (pemberi hutang), daana (berhutang), dayyaan (penguasa), madana
(membangun kota, membudayakan, memanusiakan), tamaddun (peradaban). Disini,
dalam beragama kita justru berhutang. Memang berbeda dari arti kata Islam
sendiri yang dimaksudkan peace (damai). Namun penjelasan diin ini berhutang
dalam maksud ‘ketundukan’ di hadapan Allah, semua penghambaan kita (menaati
syariat, beribadah, menuruti fitrah) adalah bentuk upaya membayar hutang atas
semua yang diberikan Allah kepada kita, karena kebutuhan kita pada Allah.
Sedangkan secara umum, religion berasal dari kata religere (tie) dalam bahasa
Latin, yaitu mengembalikan ikatan, antara kita dengan Allah. Kemudian, dalam
bahasa Indonesia, religion diterjemahkan dengan agama yang berarti sistem untuk
mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan yang Maha Kuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia serta lingkungan, dimana asal
katanya dari bahasa Sansekerta, yaitu a-gama (tidak ada kekacauan) dan bahasa
Jawa, yaitu ageman (pakaian yang memuliakan penggunanya).
Disarikan dari buku Minhaj karya Dr. Hamid Fahmi
Zarkasyi, din sebagai konsep agama dalam Islam oleh banyak ulama disimpulkan
sebagai susunan kekuasaan, struktur hukum, kecenderungan manusia untuk
membentuk masyarakat yang adil, serta sistem kehidupan yang teratur berdasarkan
hukum dan keadilan. Islam bukan sekedar soal spiritualitas diri sendiri sebagai
muslim, meskipun memang tidak ada keterwakilan/kerahiban, semua dinilai dan
lansung kepada Allah, namun juga pada ikatan interaksi lingkungan untuk
goals-nya (ingat habluminallah dan habluminannas). Konsep ini (yang secara umum
terdiri dari Islam, iman, ihsan) di-breakdown dan diformulasikan kembali agar
mudah dipahami dengan pendekatan kontemporer.
- Dari poin Islam adalah secara aspek formal/legal, misalnya selama ini kita mengenal dan menjalani rukun Islam.
- Dari poin Iman, misalnya selama ini kita meyakini perihal rukun iman, dan konsep umum dalam rukun iman pun masih dicabangkan lagi seperti dijabarkan dalam hadits-hadits dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bahwa buah dari keimanan itu akan tampak dari perkataan, tindakan, dan tingkah lain dalam keseharian seseorang. Sehingga keimanan akan rumpang jika yang diprioritaskan hanya urusan hubungan vertikal (dengan Allah) dan tidak memperdulikan hubungan horizontal (dengan lingkungan), karena keduanya adalah konsekuensi praktis dari pengakuan beriman.
- Sedangkan dari poin ihsan adalah dimana merasa jika Allah seolah-olah melihat kita dan sebaliknya ketika beribadah. Ihsan merupakan aspek yang sudah terlepas dari syariat berdasarkan substansinya. Sehingga saat beribadah, kita seperti tidak perduli lagi dengan penilaian makhluk lain dan sebagainya. Tahapan ini oleh Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi disebut sebagai kondisi bahwa kita tidak hanya menjalankan ritual ibadah, menerapkan ajaran moral, namun kita sudah menunjukkan konsep ber-Islam secara pikiran. Dimana perihal kita berpikir, berkata, berbuat, merasa, juga melihat segala sesuatu (tidak hanya sebatas literal tapi perspektif) adalah hal yang disederhanakan sebagai pandangan hidup. Sehingga memang agak sulit prosesnya bagi kita untuk bisa ada dalam derajat tahapan ihsan.
- Ninian Smart: Worldview adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang befungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral”. (Ninian Smart, Worldview: Crosscultural Explorations of Human Belief, p. 1-2).
- Michel Foucault: Worldview adalah sebuah potongan historis untuk suatu pengetahuan, yang menekankan kepada suatu norma, alasan umum, dan setiap orang tidak bisa terlepas darinya. (James W. Sire, Naming the Elephant: Worldview as a Concept, p. 30).
- Prof. Alparslan: Worldview adalah asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktivitas-aktivitas ilmiah dan teknologi. (Alparslan Acikgence, The Framework for A History of Islamic Philosophy, p. 6).
- Al Mawdudi: Pandangan hidup dimulai dari konsep keesaan Tuhan (syahadat) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia. Sebab syahadat adalah pernyataan moral (terinternalisasi) yang mendorong manusia untuk melaksanakan apa yang diucapkannya dalam kehidupannya secara menyeluruh (bermasyarakat, berniaga, belajar, berpolitik, berkeluarga, bekerja). (Al Mawdudi, The Process of Islamic Revolution, Lahore, 1967).
- Sayyid Qutb: Pandangan hidup Islam adalah akumulasi keyakinan asasi (al-tasawwur al-islami) yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap muslim yang memberi gambaran tentang wujud (realitas) dan apa-apa di balik itu. Misal: shalat mencegah kemungkaran, mencari ilmu itu ibadah, membantu orang lain sebagai salah satu tanda iman, durhaka pada orang tua akan celaka. Sehingga ketika kita sudah memilikinya/terinternalisasi/diyakini, maka akan menjadi pemicu bagaimana seseorang bergerak untuk melakukan sesuatu dalam hidup.
- Syed Muhammad Naquib Al-Attas: Pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan menjelaskan hakikat segala sesuatu (wujud). Merupakan investigasi metafisis dari apa yang nampak maupun yang tidak nampak (misal konsep sebab-akibat/kasualitas) termasuk perspektif akan kehidupan sebagai keseluruhan. Bukan sesuatu yang dibentuk secara bertahap melalui proses historis dan perkembangan spekulasi filosofis dan penemuan saintifik, yang harus dibiarkan samar dan terbuka tanpa akhir (open-ended) untuk perubahan di masa depan dan pergantian yang sejalan dengan paradigma yang berubah sesuai dengan perubahan keadaan. Bukan pandangan dunia yang mengalami proses transformasi dialektik yang berulang-ulang sepanjang zaman, dari tesis kepada antitesis kemudian sintesis. (Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, p. 1-2).
- Islam = Pikiran > Ilmu > Syariat > Fiqih: Islam ada dipikiran dahulu, sehingga untuk mewujudkan pemikiran yang baik diperlukanlah ilmu. Ilmu dibentuk oleh syariat, lalu output-nya berupa fiqih.
- Iman = Kepercayaan > Iman > Akidah > Tauhid (Ushuluddin): Fluktuasi (bertambah atau berkurangnya) kepercayaan akan berkaitan dengan iman. Dimana akidah berkaitan pula dengan ilmu-ilmu syariat untuk belajar secara pengetahuan, sehingga keimanan nantinya akan berurusan pula dengan akidah, lalu output-nya berupa ke-tauhid-an.
- Ihsan = Perbuatan > Amal > Akhlak > Tasawwuf
Konsep ilmu sendiri menurut Syed
Muhammad Naquib Al-Attas dijelaskan bahwa ilmu adalah tibanya
makna pada jiwa (1) bersamaan dengan tibanya jiwa pada makna (2). Poin pertama berkaitan dengan sumber ilmu dari Allah subhanahu wa ta’ala (QS. Al-Baqarah/2: 32, Al-A’raf/7: 172), sedangkan poin kedua
menjelaskan proses ‘olah’ ilmu
oleh manusia (amal). Fase
pengakuan (segala sesuatu dan seluruh sumber ilmu bermuara dari
Allah) penting
sebelum tahqiq (realisasi, afirmasi, konfirmasi, dan aktualisasi) dari ilmu
yang sudah dipelajari. (Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, 201). Sehingga ketika kita sudah mengakui, maka tidak ada
lagi benturan sekularisme antara masalah agama dengan sains/ilmu pengetahuan
lain.
Jika sedikit melihat kebelakang sejarah peradaban ilmu, memang ada trauma
masyarakat pada masalah ini ketika di Barat pada zaman Dark Ages (Middle Ages)
terjadi peristiwa dimana Galileo Galilei dibunuh oleh suatu pihak gereja
(Mahkamah Inkuisisi Gereja Katolik) karena menemukan suatu fakta ilmiah yang
berbeda dengan doktrin gereja (mengenai pusat semesta). Dari sini kita dapat
mengetahui bahwa justru dalam Islam, adanya ilmu pengetahuan lain pun justru bersumber/dikembangkan
dari ilmu agama, ilmu pengetahuan lain digunakan untuk mempermudah dalam
sesuatu yang berpaut pada kebutuhan kita untuk beragama, karena bagaimana kita
bisa beribadah jika kita tidak berakal? Seperti
tujuan ilmu yang dinyatakan oleh Ibn Khaldun bahwa ilmu itu untuk
hidup aman sejahtera bersama orang lain dan melaksanakan petunjuk para nabi
melalui wahyu Tuhan demi keselamatan dan kebahagiaan di akhirat. (Ibn Khaldun, Muqaddimah,
1995). Maka dalam Islam tidak mengkotak-kotakkan
antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan lain.
Selanjutnya adalah pembahasan perihal paradigma ilmu. Dalam
kerangka teori Thomas S. Kuhn, worldview diturunkan ke dalam paradigma. Paradigma adalah gabungan hasil kajian
yang terdiri dari seperangkat konsep, nilai, teori, hukum,
metodologi, teknik, dan sebagainya, yang
digunakan bersama dalam suatu komunitas untuk menentukan keabsahan suatu
masalah berserta solusinya. (Thomas
S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Chicago: University of Chicago Press, 1970, hlm. 10, 43-51). Dimana bangunan sebuah teori ilmu pengetahuan
sangat bergantung kepada paradigma ilmu pengetahuan tersebut. Sehingga misal ketika ada kasus
kekerasan seksual, maka reaksi orang yang berparadigma feminisme akan sangat berbeda
dengan orang yang berparadigma non-feminisme, baik dari segi konsep, nilai,
teori, hukum, solusi, bahkan metologi yang digunakan dalam menyikapinya. Dari paradigma ini kemudian
bersambung lagi dengan aspek filosofis dan metodologis dalam menemukan ilmu
pengetahuan, yaitu:
- Ontologis: bagaimana ilmu dilihat dari segi realitas.
- Epistemologis: apakah realitas suatu ilmu bisa dicapai dan dipahami, jika bisa, apa saja instrumennya.
- Aksiologis: apakah realitas itu punya hubungan dengan manusia (pengalaman, keyakinan, relasi).
- Metodologis: bagaimana mencapai dan memahami realitas ilmu tersebut, dan dengan langkah macam apa yang harus dipilih dan dipakai. (Gareth Morgan and Gibson Burrell, Sociological Paradigms and Organizational Analysis: Element of the Sociology of Corporate Life, London: Heinemann, 1979).
__________
Setelah mengikuti kelas dengan materi kurikulum
pertama ini, jujur amat berat dan memang memusingkan ketika mempelajarinya.
Benar bahwa materi ini sudah memasuki ranah filsafat. Tetapi, salah satu inti penting
yang bisa saya ambil adalah bahwa konsep utama yang menopang bahasan Islam
sebagai cara pandang ini adalah konsep Tuhan, karena berpengaruh besar dalam
hal memahami epistemologis suatu ilmu kedepannya. Sudah dipaparkan pula apa perbedaan jika kita menggunakan Islam sebagai cara pandang hidup. Dan yang perlu digarisbawahi adalah bahwa setiap individu memang proses
perkembangan Islamic worldview-nya akan berbeda tergantung makna Islam yang
didapatkannya terlebih dahulu (ritual ibadah atau ajaran moral). Catatan ini hanyalah secuplik insight baru yang bisa saya dapatkan, karena bahasan pandangan
Islam sesungguhnya masih amat luas sekali. Kalau ada kesalahanpahaman mengenai apa yang ditulis, sudah pastilah saya penyebabnya, karena masih adanya keterbatasan. Wallahu'alam bisshawab.
0 comments