­

Diskusi: Bedah Tokoh R. A. Kartini

August 29, 2020



Pemateri: Ratih Lusiani Bancin, M. H.
Hari, tanggal: Jum'at, 28 Agustus 2020
Penyelenggara: BP KAMMI Daerah Bantul & BP KAMMI Komisariat UMBY (@kammibantul on Instagram) 

R. A. Kartini bernama lengkap Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat, lahir di Mayong, Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879, dari seorang ayah bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat yang sedang memiliki jabatan penting di wilayah Jepara saat itu, yakni sebagai bupati. Kartini adalah putri dari istri pertama, namun ibunya bukan sebagai istri utama. Ibu dari Kartini bernama Mas Ayu Ngasirah yang merupakan putri pasangan Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, sebuah wilayah di utara Jepara. Berdasarkan silsilah dari sisi ayahnya, Kartini termasuk keturunan ningrat, karena memiliki hubungan darah yang dapat dilacak hingga Sultan Hamengkubuwono VI.


Jika dilihat pada pembahasan judul yang bertemakan perempuan, Kartini dapat dijadikan salah satu inspirasi berkenaan dengan pentingnya menuntut ilmu bagi perempuan, dimana berkat jasa dan idenya yang luar biasa hingga beliau kemudian masuk menjadi deretan wanita fenomenal dan berpengaruh di Indonesia bahkan hingga dunia, lewat kata-katanya dalam surat-surat yang bisa memberikan semangat bagi perempuan lainnya. Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno pun menobatkan beliau sebagai Pahlawan Nasional. Tak hanya itu, hingga hari ini, setiap bertepatan dengan hari lahirnya kita selalu memperingati hal itu sebagai 'Hari Kartini' dan kita tentu juga akan teringat akan sebuah lagu nasional berjudul 'Ibu Kita Kartini' yang didalamnya sangat jelas menggambarkan sosok Kartini, seorang pendekar mulia yang memiliki cita-cita besar tentang perempuan, di Indonesia sendiri pada khususnya.

Sudah banyak sekali literatur-literatur yang mengupas seluk-beluk tokoh R. A. Kartini, mulai dari biografi, pemikiran, hingga adanya kumpulan surat-surat tulisan beliau yang sangat menarik untuk ditelaah lebih dalam, seperti halnya yang dilakukan oleh Sitisoemandari Soeroto dalam bukunya yang berjudul ‘Kartini'. Tentu kita sudah sering membaca, mendengar, atau menonton kisah Kartini, termasuk juga perihal dikukuhkannya beliau menjadi tokoh emansipasi wanita. Pemberian titel ini tidak lain adalah karena isi surat-surat beliau yang kala itu bermaksud untuk bercerita kepada sejumlah sahabatnya, mengenai keinginan untuk melakukan pembebasan bagi kaum perempuan yang tertindas oleh kaum laki-laki, dimana keinginan itu juga terdorong karena keadaan yang dialaminya dan perempuan di Jawa saat itu.

Lagi-lagi, jika sedikit menengok kebelakang, sikap diskriminasi terhadap kaum perempuan ini memang sudah terjadi sejak zaman Jahiliyyah, sebelum rengkuhan ajaran Islam datang. Bahkan pada masa Jahiliyyah tersebut, perempuan merupakan sebuah aib bagi keluarga dan sudah menjadi tradisi dimana ketika ada bayi perempuan yang lahir, maka secara lansung ia akan dikubur dalam keadaan hidup-hidup. Kemudian barulah ketika Islam datang dengan Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam sebagai utusan dan wahyu berupa Al-Qur’an, maka secara perlahan tradisi tersebut dihilangkan dan mulai memberikan kemuliaan kepada kaum perempuan. Banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menerangkan tentang bagaimana kebaikan sebagai seorang perempuan, terdapat juga ayat-ayat yang menerangkan tentang hak-hak kaum perempuan. Maka selanjutnya, hal inilah yang melatarbelakangi timbulnya gerakan emansipasi wanita. Emansipasi sendiri berasal dari bahasa latin 'emancipation' yang artinya pembebasan dari tangan kekuasaan. Pengertian emansipasi yang paling populer adalah suatu usaha untuk menuntut persamaan hak-hak kaum perempuan terhadap hak-hak kaum laki-laki di segala bidang kehidupan. Emansipasi adalah lepas dari ikatan dan tekanan, yang artinya bebas memilih dan menentukan jalan hidupnya.

Sehingga, jika premis tadi dikaitkan dengan tokoh R. A. Kartini, tentu menjadi banyak pro-kotra yang didapatkan, mengingat adanya ungkapan bahwa Kartini dapat menjadi terkenal karena bantuan pihak Belanda yang memang disengajakan, atau mengatakan bahwa Kartini adalah tokoh feminisme yang sesungguhnya. Namun, dibalik itu semua, kita juga harus mengakui kegigihan dan jasa-jasa beliau yang dapat mendirikan sekolah, juga surat-surat beliau yang telah dibukukan. Perlu diingat pula bahwa Kartini sendiri tidak pernah menokohkan dirinya sendiri sebagai tokoh feminisme, sehingga itu merupakan penilaian subjektif dari masing-masing orang saja.

Terlepas dari pro-kontra tersebut, secara sisi religius, R. A. Kartini memang terbilang kurang memadai dalam masalah pendidikan agama saat kecil meskipun kakeknya dari keluarga Ibu adalah seorang guru agama/keturunan kyai. Suatu waktu Kartini pun sempat menceritakan kegelisahannya pada salah seorang sahabat lewat kegiatan surat-menyurat mengenai permasalahan agama yang saat itu sedang hangat terjadi, dimana Al-Qur'an oleh ulama tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ataupun daerah (bahasa Jawa), sehingga membuatnya tidak ingin belajar Al-Qur'an lagi, karena bagi beliau, untuk apa belajar Al-Qur'an jika sama sekali tidak bisa memahami artinya. Namun tak berapa lama kemudian, tanpa sengaja Kartini mengikuti pengajian Kyai Sholeh Darat dan membuatnya tertegun pertama kali karena Kyai Sholeh Darat mengkaji surah Al-Fatihah dengan terjemahan berserta tafsirnya. Disinilah kemudian dianggap sebagai peristiwa titik balik keislaman dalam hidup seorang Kartini, hingga Kartini terus-menerus mengikuti pengajiannya. Kemudian, di hari pernikahan Kartini, Kyai Sholeh Darat menghadiahkan tiga belas juz Al-Qur'an dengan terjemahan yang ditulis tangan, dan Kartini merasa bahwa hadiah itu tidak pernah ternilai harganya.

Untuk kajian yang lebih mendalam mengenai bagaimana pemikiran dan pergerakan seorang Kartini, maka kita perlu banyak-banyak mengkaji, dari data yang relevan tentunya, agar semakin bijak penilaian kita tentang bagaimana sepak terjang Kartini dalam permasalahan emansipasi wanita.

Dan walaupun akhirnya kita belum bisa menyamai perjuangan Kartini, setidaknya kita harus mau belajar tentang perjuangan dan kisah hidupnya, belajar tentang bagaimana spirit nasionalisme dan spirit dalam beragama. Tak lupa yang terpenting, harus kita ingat pula bahwa: "Perempuan adalah pondasi peradaban. Oleh kerena itu, Islam memperlakukan perempuan dengan hormat dan bermartabat. Maka, janganlah mau menerima apapun yang lebih rendah dari itu".

You Might Also Like

0 comments