Women Scholars in Islam #1: Memahami Makna Adab dalam Menuntut Ilmu, Perbedaan Adab dan Akhlak (1)

February 02, 2021



Pemateri: Dr. Abas Mansur Tamam
Hari, tanggal: Sabtu, 30 Januari 2021
Penyelenggara: Frasa (@frasa.in on Instagram)

Tiga persoalan yang disampaikan yaitu mengenai keterkaitan antara adab dengan akhlak, kepribadian pencari ilmu, dan adab kepada guru.

KETERKAITAN ANTARA ADAB DENGAN AKHLAK
Keterkaitan antara adab dengan akhlak terjadi karena berhubungan dengan suatu proses bernama pendidikan. Ada banyak diksi/istilah dalam mengartikan pendidikan. Dalam khazanah Islam secara umum ataupun khazanah pendidikan Islam secara khusus, ada beberapa istilah. Kadang disebut taklim dalam arti memberikan pengetahuan, kadang takziah dalam arti penyucian jiwa, kadang tarbiyah, dan kadang ta'dib. Syed Naquib Muhammad Al-Attas adalah pemikir kontemporer yang banyak dirujuk ketika beliau mereformasi sebuah konsep pendidikan dengan pilihan istilah ta'dib. Dari tahun 1971, Al-Attas gencar mempopulerkan istilah ini sebagai istilah yang dipilihnya dalam proses pendidikan sehingga diharapkan pendidikan menunaikan apa yang menjadi tugasnya. Bukan hanya sekedar mentransfer pengetahuan kepada peserta didik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai adab/keislaman. Maka beliau menyebut pendidikan sebagai proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia. Defisini yang simpel, namun menurut ilmu mantiq, definisi tersebut tegolong jami' manik. Jami' artinya merangkum seluruh persoalan yang menjadi bagian dari hakikatnya, manik berarti mencegah dari masuknya sebuah konsep yang tidak berhubungan dengannya.


Dilihat dari definisi itu, ada tiga penggal kata yang menjadi penting. Pertama, tentang proses penanaman. Proses penanaman adalah metode dan sistem pendidikan yang dilakukan secara bertahap. Pendidikan memang dilakukan secara bertahap, karena mustahil proses pendidikan dilakukan secara sekaligus. Itu sebabnya, salah satu dari makna tarbiyah adalah at-tadarruj atau bertahap meskipun ada juga makna lain (disarankan membaca buku yang ditulis oleh Abdurrahman Al-Nahlawi yaitu Ushulut Tarbiyah Al-Islamiyyah untuk memahami bagaimana konsep pendidikan di dalam Islam bisa ditangkap secara utuh dan otentik). Artinya, tidak cukup kalau guru hanya bermodalkan pengetahuan. Orang yang memiliki pengetahuan luas dan mendalam belum tentu pas menjadi guru, ketika ia tidak memiliki kompetensi sebagai pendidik, dimana diantaranya adalah bagaimana ia mempunyai keterampilan pedagogik (banyak berhubungan dengan metode). Sehingga suatu konsep bisa ditanamkan atau bisa diterima secara utuh lalu di internalisasi diri peserta didik inilah yang disebut oleh Al-Attas sebagai proses penanaman.

Kedua, sesuatu kandungan/konten yang ditanamkan. Dimana seharusnya yang dimuat adalah ilmu dan nilai, karena tidak bisa dipisahkan. Imam Al-Ghazali mengomentari kesenjangan yang terjadi dalam diri para elit terdidik dari umat Islam secara umum, dimana ilmu dan akhlak tidak seimbang, sehingga beliau ingin mengembalikan epistemologi ilmu Islam ke dalam espistemologi Socrates. Kenapa? Karena Socrates mengatakan ilmu artinya keutamaan. Seseorang tidak dapat dikatakan 'alim seandainya ia tidak memiliki akhlak yang terpuji. Ketika ia dapat mengimplementasikan ilmu yang dimiliki ke dalam prilaku yang terpuji, barulah ia dapat disebut seorang yang 'alim. Dalam prakteknya, seringkali kita mendapatkan konsep yang dikotomis antara ilmu dengan keutamaan (nilai). Sehingga, ilmu dianggap sebagai sebuah pengetahuan yang tersusun secara sistematis, kritis, dan lain-lain, sebagaimana syarat ilmu terpenuhi di dalam filsafat ilmu, tetapi kemudian dianggap berkenaan dengan faktor kognitif manusia dan tidak berhubungan dengan afeksi ataupun prilaku manusia. Inilah konsep yang salah dan direformasi oleh Al-Attas seperti yang disebutkan sebelumnya.

Ketiga, diksi tentang diri manusia. Yang dimaksud adalah bahwa subjek (pelaku) dan objek (penerima) pendidikan sudah jelas secara orisinil yaitu manusia. Meskipun kita mungkin pernah mengetahui proses-proses pendidikan yang dilakukan terhadap mahkluk lain seperti contoh kucing, anjing, burung Kakatua, dan lain-lain. Dari konsep itu, maka, pendidikan adalah penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang inilah yang kemudian semakin memantapkan perujukan kepada istilah ta'dib. Struktur ta'dib dianggap Al-Attas sudah mencakup tiga pilar penting, yaitu ilmu, instruksi atau pengajaran (taklim), dan tarbiyah sebagai pola pembinaan yang baik. Taklim penting karena dalam bahasa Arab, taklim artinya adalah mengajar. Namun penggunaannya unik. Karena mirip dengan pemisalan ketika seorang atasan menyampaikan arahan/sesuatu yang harus dilakukan oleh bawahan (disebut taklimat). Sejalan dengan Emile Durkheim yang pernah menyebutkan bahwa ilmu bukan hanya sekedar seseorang menjadi tau tentang kebaikan, tetapi seseorang juga cinta dengan kebaikan. 

Kita mengenal bahwa di dalam kehidupan masyarakat Indonesia, ada yang disebut dengan unggah-ungguh (re: tata krama). Mungkin cara-caranya tidak secara eksplisit terdapat di agama Islam, seperti misal ketika seorang anak mau berjalan di hadapan orang tua, badan membungkuk, tangan kebawah sambil mengatakan permisi. Hal ini tidak disebutkan di dalam akhlak Islam, namun termasuk pada contoh memuliakan orang tua. Ada persoalan-persoalan yang boleh jadi tidak terwadahi secara gamblang dalam akhlak Islam, tapi termasuk dalam adab. Maka, disimpulkan bahwa adab yakni kemampuan untuk menempatkan diri secara tepat di dalam hierarki keberadaan. Keberadaan dimaksudkan segala sesuatau yang ada yang menjadi pihak dimana kita berkomunikasi/berhubungan. Dalam hal ini, kita bisa berhubungan dengan Allah, sesama manusia (termasuk diri kita sendiri), alam, akhirat, dan kehidupan itu sendiri (disarankan membaca buku yang ditulis oleh Majid Irsan Al-Kilani yaitu Falsafah At-Tarbiyah Al-Islamiyyah). Konsepsi yang disampaikan pada buku tersebut menarik dan isnpiratif, karena adab bisa dirumuskan dalam struktur pendidikan kita, baik formal maupun informal.

  1. Posisi yang tepat ketika berhubungan dengan Allah adalah obudiyah (sebagai hamba). Seluruh ibadah ketika kita memiliki akidah (ketauhidan) dan dilakukan secara benar maka sudah tergolong beradab kepada Allah;
  2. Ketika berhubungan dengan sesama manusia, pola yang beradab adalah adil dan ihsan. Ini juga dibahas oleh Al-Attas. Innallaha ya'muru bil 'adli wal ihsaan (QS. An-Nahl/62: 90). Di dalam konsep tafsir, tidak ada dua istilah yang disebutkan di satu ayat/kalimat dalam Al-Qur'an yang memiliki makna sama, apalagi ketika kalimat itu memang berbeda. Maka, makna adil dan ihsan pun konsepnya berbeda. Seseorang tidak bisa dikatakan adil jika ia tidak menunaikan kewajibannya. Ihsan mengacu pada suatu perbuatan kebaikan yang dilakukan setelah kewajiban ditunaikan;
  3. Ketika berhubungan dengan alam, pola yang beradab adalah yang mampu mengambil manfaat atasnya (taskhir). Ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam Islam dikembangkan dari konsep taskhir;
  4. Ketika berhubungan dengan akhirat, pola yang beradab adalah yang mampu menghayati bahwa apa yang dilakukan di hidup ini dipertanggungjawabkan (al-hisab) dan menadapatkan balasan (al-jazaa') kelak. Tanggungjawab inilah yang akan membuat seseorang mampu menjalani kehidupan dengan benar sesuai ajaran-Nya yang dituangkan dalam agama Islam;
  5. Berkenaan dengan kehidupan itu sendiri adalah penyikapan yang ada terhadap hidup, meskipun banyak nilai-nilai akhlak atau adab yang harus dimiliki manusia, namun intinya adalah sabar dan syukur.
Adab dalam konteks ilmu diawali dengan pemahaman bahwa ada hierarki ilmu berdasarkan tingkat keluhuran dan kemuliaan. Ilmu dari wahyu lebih luhur dan mulia ketimbang ilmu dari akal. Maksudnya, ada ilmu yang diturunkan dari wahyu, misal ilmu akidah, tauhid, ibadah, akhlak. Manusia tidak bisa merumuskannya, secerdas apapun ia. Manusia hanya bisa memahami lewat akal. Ilmu dari akal atau pengalaman indrawi berhubungan dengan alam semesta, meskipun dianggap cukup rumit dan boleh jadi dianggap mendatangkan manfaat-manfaat dunia yang jauh lebih besar ketimbang ilmu yang diperoleh dari wahyu, tetapi bagaimanapun ilmu tersebut bersifat tentatif dan terbatas. Apa yang dianggap benar hari ini, belum tentu dianggap sama esok hari. Ilmu yang berisi petunjuk kehidupan dunia pun lebih mulia daripada ilmu yang dipakai dalam kehidupan. Keilmuan di dalam agama Islam sifatnya memandu kehidupan, sedangkan keilmuan kontemporer sifatnya dipakai dalam kehidupan.

Adab terhadap ilmu akan menghasilkan cara yang tepat dan benar dalam belajar dan penerapan berbagai bidang sains. Sehingga, ketika seseorang telah memiliki keterampilan untuk menempatkan dirinya dengan baik di hierarki keberadaan, maka berdampak pada melipatgandakannya pengetahuan yang diperoleh atau dengan kata lain, menjadikan orang yang beradab lebih kaya ilmunya daripada yang tidak beradab. Maka, orang yang hormat dan menghargai ulama, sarjana, dan guru merupakan salah satu pengejawantahan adab terhadap ilmu. Yang terakhir, tujuan dari pencarian ilmu dan pendidikan adalah kebahagiaan dunia juga akhirat.

Selanjutnya, berbicara tentang akhlak serta hubungannya dengan ilmu. Ilmu bukan hanya soal pengetahuan dalam kepala, meskipun pengetahuan ini sangat agung. Sampai pun ilmu yang diperoleh dari kenabian, tidak cukup hanya diperolehnya saja. Jadi baik ilmu yang diperoleh lewat panca indra maupun lewat kenabian atau wahyu, tidak cukup hanya diketahui, tapi diamalkan agar lebih bermanfaat. Orang berilmu harus berkomitmen dengan nilai-nilai akhlak yang menjadi konsekuensi ilmu sendiri dan menjadikannya layak sebagai penerus jejak para nabi. Dalam Al-Qur'an disebutkan, "Dialah yang mengutus seorang Rasul (Nabi Muhammad) kepada kaum yang buta huruf dari (kalangan) mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menucikan (jiwa) mereka, serta mengajarkan kepada mereka kitab (Al-Qur'an) dan hikmah (sunnah), meskipun sebelumnya mereka dalam kesesatan yang nyata." (QS. Al-Jumu'ah/62: 2). Ada 4 ayat lain dalam Al-Quran yang senada maknanya dengan ayat ini, yang membedakan adalah 1 ayat dengan do'a Nabi Ibrahim untuk Ismail yang akan ditinggalkan di Lembah Mekkah bersama Siti Hajar. Di dalam 3 ayat tersirat 3 agenda kenabian (Nabi Muhammad) dengan urutan membaca atau tilawah, tazkiyah atau penyucian jiwa, serta taklimul kitab wal hikmah atau pengajaran tentang Al-Qur'an dan sunnah. Sementara pada ayat dengan do'a Nabi Ibrahim urutannya adalah tilawah, taklim, baru kemudian tazkiyah. Ketiga ayat tadi merupakan penjelas bahwa takziyah lebih dikedepankan ketimbang taklim, sehingga muncul adagium bahwa adab lebih penting daripada ilmu. Karena ketika ilmu ditekuni dengan kerangka-kerangka adab, maka perolehan ilmunya menjadi luar biasa.

Dalam bahasa Arab, ada yang disebut khalqun dan ada yang disebut khuluqun (ada di do'a ketika kita bercermin, allahumma kamaa hassanta khalqii faahsin khuluqii). Khalqun merupakan gambaran luar fisik manusia atau outside beauty. Khuluqun merupakan gambaran batin/dalam manusia atau inner beauty. Khuluqun-lah yang disebut dengan kata lain akhlak. Ketika dua istilah berbeda memiliki akar kata yang sama, maka menurut filologi bahasa Arab keduanya memiliki korelasi. Maka, ketika seseorang memiliki akhlak tertentu, ia bisa dibaca lewat fisiknya. Imam Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai ungkapan tentang kondisi kejiwaan yang kukuh, ketika perbuatan-perbuatan keluar darinya dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.

Diantara adab dengan akhlak, yang bersifat lebih umum adalah adab. Akhlak lebih bersifat khusus karena ini adalah nilai-nilai yang universal (misal, berbohong tetap menjadi perbuatan tercela dimanapun kita berada), serta bersumber dari agama. Adab merupakan kelanjutan dari akhlak. Adab boleh jadi representasi dari suatu adat dan kebudayaan, tidak semua tempat menerimanya atau memiliki kesamaan kultur.

KEPRIBADIAN PENCARI ILMU
Kepribadian ini ada yang bisa kita upayakan dan ada yang tidak bisa diupayakan pada setiap individu, oleh karena itu, ia menjelma menjadi karakter.

  • Cerdas dan Shaleh
Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim dijelaskan bahwa perumpamaan penerimaan hidayah dan ilmu yang diwahyukan Allah kepada Rasulullah adalah seperti hujan yang menimpa tanah. Ada tanah yang subur sehingga menyerap air, lalu muncul rerumputan dan tumbuh-tumbuhan. Ada tanah yang tandus, tetapi dapat menampung air sehingga manusia mengambil manfaat darinya lalu mereka minum dan memberi minum ternaknya. Ada tanah seperti selokan yang tidak menahan air dan tidak pula memunculkan tumbuhan.
 
Itulah perumpamaan orang yang memahami agama Allah dan mengambil manfaat dari apa yang diwahyukan kepada Rasulullah sehingga mengetahui dan mengajarkannya; serta perumpamaan orang yang tidak dapat mengangkat kepalanya dan tidak menerima hidayah yang diutuskan kepada Rasulullah.
 
Berdasarkan hadits tersebut, maka dikategorikanlah 3 tipe peserta didik. Pertama, tipe cerdas dan shaleh. Ini yang harus kita miliki. Cerdas yaitu serius dalam belajar dan menghafal (bisa menyerap), shaleh yaitu mengamalkan ilmu dan mengajarkannya (bisa melahirkan kebermanfaatan). Kedua, tipe cerdas tapi tidak begitu shaleh atau bahkan tidak termasuk kategori shaleh. Tipe ini tetap bisa memberi manfaat, bisa membagikan ilmunya. Oleh karena itu, betapa sering orang yang secara konsep atau hafalannya banyak tapi tidak begitu paham dengan yang dipelajarinya dan betapa sering orang yang menerima ilmu darinya akan lebih pintar/faqih (HR. Ahmad). Kefaqihan itu bisa berhubungan dengan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik manusia. Ketiga, tipe tidak cerdas dan tidak shaleh. Tipe ini adalah orang yang tidak serius dalam belajar.
 
Yang dimaksud cerdas maksudnya adalah potensi intelektual. Dikutip suatu kisah percakapan antara Muawiyah bin Abu Sufyan dengan Dagfal bin Hanzalah, ketika bertanya tentang bahasa Arab, biografi tokoh, dan astronomi, karena Dagfal mengetahuinya. Muawiyah bertanya bagaimana bisa Dagfal mengetahui ilmu-ilmu tersebut. Lalu Dagfal menjawab, "dengan lidah yang rajin bertanya dan hati yang mengingat, karena penyakit ilmu adalah lupa." Ketika kita memiliki daya ingat yang terbatas, maka optimalkan dengan mencatat. Bahkan Abu Hurairah pernah membandingkan dirinya dengan Abdullah bin Amru bin Ash karena meskipun perbendaharaan hadits-nya banyak, namun beliau tidak rajin mencatat seperti Abdullah (namun tetap baik karena daya ingat Abu Hurairah bagus).
 
Kemudian, shaleh maksudnya adalah potensi afektif-psikomotorik. Boleh jadi seseorang yang secara potensi intelektualitas tidak seberapa, tapi memiliki keshalehan yang tinggi. Pernah ada cerita perihal Sa'aduddin Attaf Thazani yang bersifat seperti ini kemudian menjadi ulama yang tak tertandingi pada zamannya. Ia selalu tidak dianggap dalam majelis ilmu karena sulit dan lama menangkap. Namun uniknya, ia selalu duduk paling depan dan tidak melakukan kegiatan di dalam majelis ilmu kecuali berkaitan dengan usaha untuk menyerap ilmu yang disampaikan oleh gurunya. Ia sibuk mengejar ketertinggalan. Suatu malam, Sa'ad bermimpi bertemu seseorang. Orang itu mengatakan bahwa Nabi menunggu di suatu tempat dan harus ditemui. Namun ia membalas, "bagaimana mungkin saya melakukan suatu kegiatan di luar belajar padahal ketika sudah belajar lebih rajin pun saya tetap menjadi yang terbelakang." Ia tidak menemui Nabi di mimpi itu. Sampai hingga mimpi itu terulang ketiga kalinya, barulah Sa'ad mengiyakan untuk pergi menemui Nabi. Nabi bertanya, "Sa'ad, kenapa baru engkau datang sekarang?" Sa'ad menjawab, "Wahai Rasulullah, saya tidak yakin ketika dua kali orang ini mengatakan Engkau menungguku. Aku sibuk dengan belajar karena aku merasa betapa aku bodoh dibandingkan dengan teman-temanku yang lain. Karena itu aku merasa tidak punya waktu untuk melakukan kegiatan-kegiatan selain itu." Kemudian Rasulullah menyuruh Sa'ad membuka mulut dan meludahkan sesuatu kedalamnya. Keesokan hari saat sudah terbangun, Sa'ad mengajukan satu pertanyaan pada gurunya, gurunya terdiam. Sa'ad menanyakan sesuatu hal yang itu tidak akan dilontarkan kecuali oleh orang-orang yang cerdas. Dari situlah awal mula Sa'ad menjadi murid yang sangat cerdas dan menjadi ulama besar yang sulit ditandingi soal ketajaman berpikir dan keluasan ilmu.
 
Inilah kenapa keshalehan akan melahirkan motivasi, kemudian akhirnya terjadi sesuatu yang bersifat karomah (pemberian dari Allah atas kesungguhan, amal baik, serta taqarrub-nya pada Allah). Keshalehan bisa meng-upgrade kecerdasan kita. Selain itu, dari keshalehan juga akan timbul rasa kecintaan, kelurusan niat, dan kekuatan tekad, sebagai sebab dalam melakukan keberlansungan amal baik dalam kehidupan.
 
***
NB: bersambung di part kedua, pekan mendatang. 

You Might Also Like

0 comments