­

Review: Sepanjang Jalan - Zahratul Iftikar

January 19, 2021



Judul Buku: Sepanjang Jalan
Penulis: Zahratul Iftikar Jadna Masyhida
Kategori: Motivasi dan Self-Help
Penerbit: CV. Masyhida
Tahun Terbit: 2020
Jumlah Halaman: 177 Halaman
ISBN: 978-602-52034-1-1
Rating: 3,8/5

***

Terkadang teladan dan hikmah yang kita butuhkan tidak perlu kita cari jauh-jauh. Teladan dan hikmah tersebut kita dapatkan dari orang-orang terdekat kita. Sosok tersebut bisa saja hadir sebagai orang tua kita, saudara kita, atau sahabat baik kita. Tinggal bagaimana kita mengasah kepekaan hati agar bisa menangkap pelajaran dari sumber teladan dan hikmah atas izin Allaah.

Ummi dengan amar makrufnya, Ibu dengan nahi munkarnya. Dua sosok yang nasihat dan perjumpaan dengannya selalu kami nanti. Yang senantiasa menjadi teladan terbaik dalam mengarungi hidup ini. Yang menjadi washilah untuk senantiasa meneladani Rasuulullaah dan istiqomah di dalam syariat-Nya.

***

Ba'da Ashar kemarin, buku Sepanjang Jalan akhirnya sampai ke tangan saya. Alhamdulillah. Sebagai salah satu pembeli di pre-order kloter pertama, saya sungguh antusias untuk membacanya, setelah sempat terjadi kendala hingga ada perpanjangan waktu pendistribusian. Maka kemudian, selepas menyelesaikan Shalat Maghrib dan beberapa kegiatan rutin di malam hari, saya bergegas menuntaskan buku ini.

Saya mengenal Mbak Zahra sejak bertemu dengan beberapa tulisannya di Tumblr yang sederhana, namun inspiratif dan menggugah. Berlanjut sampai ke Instagram (lewat caption), blog fahmizahranotes.com, serta ikut membaca buku pertama Mbak Zahra yang ditulis bersama suaminya dengan judul "Mengukir Peradaban". Ternyata, ciri khas menulisnya tersebut masih terus melekat hingga buku kedua beliau lahir.

Gambar 1. Cover Depan Buku 'Sepanjang Jalan - Zahratul Iftikar'
Sepanjang Jalan berisi kumpulan cerita hikmah mengenai dua sosok perempuan yang memberikan teladan besar namun sering luput kebaikannya untuk kita syukuri dalam hidup, yaitu ibu kandung dan ibu mertua. Ibu kandung penulis selanjutnya disebutkan dengan panggilan 'Ummi' dan ibu mertuanya disebutkan dengan panggilan 'Ibu'. Bagi saya, menulis tentang kebaikan ibu sendiri barangkali adalah hal yang sudah familiar, tapi menuliskan hal yang sama versi ibu mertua adalah kebalikannya. Saya lebih sering bertemu dengan cerita curhatan riuh para menantu soal ibu mertua tidak memenuhi ekspetasi. Walaupun, dalam bagian epilog buku ini, Mbak Zahra nggak menampik juga kalau setiap ibu pasti akan ada kekurangan dan melakukan hal-hal yang menyesakkan di hati anak-anaknya tanpa sadar. Setiap ibu berbeda bentuk, cara penyampaian, dan kadar cinta/kebaikan. Tapi ditekankan, bahwa bukan disitulah yang menjadi fokus kita sebagai seorang anak. Fokus kita berbakti. Birrul walidain. Apalagi untuk ibu, dengan derajat keutamaan tiga kali lipat.

Gambar 2. Tampilan Daftar Isi Buku 'Sepanjang Jalan - Zahratul Iftikar'
Sejauh yang saya amati, buku ini lebih banyak halaman dalam menceritakan sosok Ummi. Make sense, karena momen yang dilewati Mbak Zahra memang lebih banyak dengan ibu kandungnya, jelas sejak lahir hingga sekarang, melewati setiap stage sekaligus obstacle menuju masa pendewasaan, jauh sebelum bertemu Ibu. Ummi memiliki prinsip hidup berdasarkan hadits:
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "maukah kalian aku tunjukkan orang yang haram baginya tersentuh api neraka? Para sahabat berkata, "mau, wahai Rasulullah!" Beliau menjawab, "yang haram tersentuh api neraka adalah orang yang hayyin, layyin, qarib, dan sahl. (H. R. At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Hayyin bermaksud tenang, teduh, meneduhkan. Layyin bermaksud lemah lembut, sopan. Qarib bermaksud supel, dekat, mudah bergaul. Sedangkan sahl bermaksud memudahkan, tidak mempersulit. Maka begitulah karakteristik yang diterapkan oleh sosok Ummi ketika menjalani keseharian. Dari bagian Ummi inilah saya belajar meluruskan sekaligus menyusun niat kembali. Baik meluruskan niat merawat tampilan diri justru agar menghargai orang lain ketika saling bertemu, agar menyenangkan dipandang dengan tujuan sebagai salah satu jurus dimudahkannya dakwah; merutinkan qiyamul lail; meriset ulang bagaimana cara menyampaikan dakwah; menjadi lebih ringan tangan dan peduli; serta bagaimana memperlakukan orang lain lebih baik.

"Anak-anak, malam itu panjang. Bangun dan Tahajud-lah. Siang itu panjang. Jangan habiskan dengan kemalasanmu. Awali hari dengan dhuha, tilawah, belajar, dan berkarya." -Ummi

Pada sosok Ibu, Mbak Zahra menggambarkan sifatnya yang sederhana, pemberani, tangguh, ambisius, dan disiplin. Mendengar kata ambisius, kadang kita lebih sering mencemooh duluan karena merasa itu terkesan egois. Namun disini, Ibu bilang, bahwa orang Muslim itu memang seharusnya ambisius, karena sadar bahwa setiap detik waktunya kelak akan dipertanggungjawabkan. Ambisius nggak selalu akan menjadi ke arah negatif.

Saya kagum dengan Ibu. Beliau masih bersemangat melanjutkan pendidikan hingga S2, berlanjut untuk S3 dan S1 lagi di waktu yang bersamaan agar linier pendidikannya. Berpacu dengan teman-teman beliau yang umumnya lebih muda. Itu pun masih harus menjaga peran sebagai istri dan ibu di rumah, membuka praktik dokter, dan mengajar mahasiswa. What a real fighter! Saya bisa membayangkan bagaimana letihnya, tapi Ibu lebih bisa lagi untuk mengefisienkan waktu juga tenaganya. Sifat-sifat Ibu juga menurun pada anak-anak beliau, baik laki-laki maupun perempuan, sehingga tidak hanya cakap urusan publik tapi juga cekatan urusan domestik. Tak heran, Mbak Zahra menyampaikan bahwa ia yang sebelumnya tidak melek urusan domestik jadi dapat belajar dari suaminya, dan merasa sangat tertolong akan hal tersebut.

"Sudah terlalu banyak orang baik di dunia ini. Tapi orang baik yang berani bersuara? Sedikit sekali. Karena bahkan amar makruf aja nggak cukup. Harus diikuti dengan nahi munkar. Dan ibu azzam-kan untuk berada di jalan yang sepi itu." -Ibu

Kesimpulan dari saya, ada banyak kesamaan antara Ummi dengan Ibu. Terutama soal tujuan membentuk generasi-generasi emas yang menjadi tonggak kebangkitan Islam. Ummi mencurahkan semangat dakwahnya lewat mendirikan pesantren mahasiswa dan mengajar di berbagai kalangan pengajian, Ibu melejitkan peluang dakwahnya lewat profesi dan berbagai relasi yang dimiliki. Keduanya memiliki jalan untuk meraih tujuan itu masing-masing. Dan pada akhirnya, perempuan memang memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri lebih luas lagi, mengepakkan sayap lebih tinggi lagi, tapi ingatlah fitrah dan tanggungjawab yang lebih dulu harus diselesaikan.

Buku ini tidak hanya patut dibaca oleh perempuan yang sudah menikah, yang belum seperti saya pun sangat bagus sebagai bekal awal. Agar mendeteksi sejak dini, mana sifat yang harus dipertahankan, mana sifat yang harus diperbaiki (karena tentu tidak semudah atau secepat itu dalam prosesnya). Walaupun buku ini berisi halaman yang tidak full (diseling antara lembar quotes dan penjabaran yang tidak terlalu panjang) serta bisa dibabat habis hanya dalam kisaran waktu tiga jam, namun isinya mampu membuat saya mawas diri bagaimana perangai saya terhadap ummi saya selama ini? Bagaimana penerapan birrul walidain saya? Apakah orangtua saya ridho pada saya? Atau, berpikir berulang-ulang, akan menjadi istri dan ibu terbaik seperti apa saya kelak di kemudian hari? Lantas, bagaimana soal kompetensi diri sampai saat ini? Sudah bertambah mumpunikah?

Selamat bermuhasabah.


You Might Also Like

0 comments