­

Review: Goodbye, Things - Fumio Sasaki

January 09, 2021



Judul Buku: Goodbye, Things
Penulis: Fumio Sasaki
Kategori: Pengembangan Diri
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Tahun Terbit: 2018
Jumlah Halaman: 269 Halaman
ISBN: 978-602-03-9840-2
Rating: 4/5

Fumio Sasaki bukan ahli dalam hal minimalisme; ia hanya pria biasa yang mudah tertekan di tempat kerja, tidak percaya diri, dan terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain—sampai suatu hari, ia memutuskan untuk mengubah hidupnya dengan mengurangi barang yang ia miliki. Manfaat luar biasa langsung ia rasakan: tanpa semua "barangnya", Sasaki akhirnya merasakan kebebasan sejati, kedamaian pikiran, dan penghargaan terhadap momen saat ini.

Di buku ini, Sasaki secara sederhana berbagi pengalaman hidup minimalisnya, menawarkan tips khusus untuk proses hidup minimalis, dan mengungkapkan fakta bahwa menjadi minimalis tidak hanya akan mengubah kamar atau rumah Anda, tapi juga benar-benar memperkaya hidup Anda. Manfaat hidup minimalis bisa dinikmati oleh siapa pun, dan definisi Sasaki tentang kebahagiaan sejati akan membuka mata Anda terhadap apa yang bisa dihadirkan oleh hidup minimalis.

***

First of all, saya bersyukur sekali bisa bertemu dan membaca buku ini. Kebetulan yang sangat pas ketika membacanya di akhir tahun 2020 kemarin, menjadi refleksi untuk menentukan bagaimana track hidup di tahun yang akan datang. Sebelumnya, saya mengenal istilah kata minimalis hanya sebatas gaya desain dalam dunia arsitektur dan seni, tidak terpikirkan bahwa ada juga minimalis dalam urusan gaya hidup. Di awal, saya tertantang membaca karena melihat jumlah rating dan review-nya yang cukup banyak di Goodreads, ditambah adanya dorongan karena saya sering mengamati orang-orang di media sosial yang telah mencoba untuk hidup minimalis, serta relasi gaya hidup tersebut dengan ajaran Islam dan gerakan less wasteyang juga menjadi wishlist goals saya di tahun 2021, untuk ikut belajar menjaga bumi sedari dini. Tapi ternyata nggak hanya sampai disitu, kata minimalisme ini semakin ramai di pikiran saya ketika mendengar adanya film Minimalsm: A Documentary About the Important Things (rilis sejak tahun 2016 di Netflix) dan The Minimalists: Less is Now (rilis 1 Januari 2021 di Netflix). Minimalisme menjadi sesuatu yang meledak di kalangan kaum milennial. Tak jauh-jauh intinya seperti dari buku ini, bahwa memang there's nothing wrong with consumption, the problem is compulsory consumption. Kita harus mampu betul bersikap selektif, mana barang yang penting serta dibutuhkan dengan yang hanya sekadar selintas keinginan.

Gambar 1. Cover Depan Buku 'Goodbye, Things - Fumio Sasaki' 
Rentetan foto perbandingan yang mencolok antara gaya hidup minimalis dengan maksimalis merupakan tampilan pembuka yang disajikan Sasaki dalam halaman bukunya. Ruang-ruang apartemen penulis yang dahulu sesak penuh barang terasa lebih lapang dan rapi saat menemukan konsep minimalisme. Saya adalah orang yang senang dengan kerapian. Tidak hanya saya, sebagian besar orang di dunia pun tampaknya begitu. Meskipun nggak dipungkiri ada pula sebagian lain yang cenderung suka dengan hal-hal yang terbiarkan mess up apa adanya. Well, nggak ada yang salah. Tapi, dengan minimalisme, peluang kita untuk berubah menjadi pribadi yang rapi, teratur, dan bersih akan jauh lebih besar. Hal ini karena minimalisme menuntut untuk hidup sederhana serta praktis, menyimpan barang berkategori pokok dan betul-betul fungsional saja, otomatis seharusnya barang yang dimiliki pun akan semakin sedikit. Tidak ada lagi barang yang sebatas untuk koleksi atau bertumpuk tak berarti. Waktu untuk membereskan dan merawat barang pun jauh lebih singkat serta tidak menguras banyak energi.

Sasaki menyebutkan bahwa memang tidak ada aturan khusus dalam minimalisme, proses memangkas barang pun nggak berlaku sama untuk semua orang. Minimalisme harus timbul dari kesadaran tulus untuk memaknai ulang kehidupan. Sasaki mengurangi barang-barangnya secara drastis, mulai dari lemari dapur, koleksi barang antik, baju-baju mahal, meja kerja, meja makan, kasur besar, seperangkat TV dengan home theater, macam-macam alat bersepeda, alat musik, bahkan yang membuat saya terheran-heran ketika disebutkan juga membuang foto, surat/benda kenangan, dan buku-buku (termasuk buku tahunan sekolah). Seriusan ini teh? Sempat terlintas dalam benak, kesannya malah memiskinkan diri dan seperti nggak mencintai diri sendiri ya, hehe.

Rupanya, ada sejumlah trik yang bisa dilakukan. Segala foto (ataupun beragam dokumen berharga) yang sebelumnya dalam bentuk album fisik di scan dan dipindahkan ke dalam hard drive, sehingga masih terjaga dan tidak lagi tercecer, sekaligus memudahkan untuk dibawa ketika sedang dalam keadaan darurat. Segala surat/benda baik kenangan, maupun hadiah pemberian orang lain yang tidak fungsional dan justru menambah debu baru di ruangan bisa di scan/foto pula terlebih dahulu sebelum disingkirkan, jadi memori nya akan tetap tinggal dalam ingatan. Sebelum disingkirkan bisa juga izin baik-baik dulu ke orang yang memberi, supaya nggak bertanya lagi atau parahnya timbul suudzon ketika kita ternyata nggak memakai atau menyimpan pemberiannya. Kadangkala juga sebagian orang nggak sadar pernah memberikan apa ke orang lain. Jangan takut si pemberi akan kesal, beri pengertian kalau hubungan saat ini harusnya lebih dari sekadar benda materi. Selanjutnya, soal perbukuan, yang paling berat eksekusinya. Saya pun sempat denial berhari-hari. Sasaki mengganti semua buku fisik ke bentuk buku digital. Ia mengajarkan saya bahwa awalnya koleksi buku memang seperti bagian yang nggak bisa dipisahkan dari diri karena kita seringkali ingin menunjukkan tingkat self-value melalui buku-buku itu kepada orang lain. Masalah yang sama juga kadang berlaku di beberapa barang. Nyatanya siapalah yang akan selalu sadar buku apa saja yang telah kita baca? Adakah orang yang masih ingat baju apa yang kita pakai tujuh atau sepuluh hari yang lalu? Kesekian kali, kita terlalu banyak menyita waktu untuk hal remeh-temeh. 

Beruntung karena teknologi dan penyedia jasa sekarang ini sangat mendukung dan terjangkau untuk memulai hidup minimalis. Ada hard drive yang berkapasitas besar untuk menyimpan file, gadget yang multifungsi dalam satu genggaman, ada aplikasi-aplikasi yang mampu menggantikan peran barang fisik. Walaupun, penting juga untuk tahu kalau di lain sisi, teknologi bisa bertransformasi menjadi bumerang jika tidak cerdas mengontrol. Perilaku konsumerisme adalah buah lain dari teknologi (e-commerce bertebaran, sosial media memudahkan arus informasi tren terkini). Kita juga bisa menyewa suatu barang yang hanya dipakai sesekali. Misal, alat camping atau hiking, baju untuk keperluan acara formal, peralatan fotografi, dan sebagainya. Buku tahunan sekolah pun bisa dipinjam dari teman seangkatan, karena tentu bukan hanya kita yang memiliki itu (bonusnya bisa sekalian memperat silaturahmi). Sewalah yang bisa di sewa.

Gambar 2. Tampilan Daftar Isi Buku 'Goodbye, Things - Fumio Sasaki'
Ada 55 kiat berpisah dari barang, 15 kiat tambahan untuk tahap selanjutnya dalam perjalanan menuju minimalisme, dan 12 hal yang berubah sejak berpisah dari barang yang dijabarkan oleh Sasaki di buku ini. So far, beberapa yang menarik adalah ketika mendapati kiat dimana kita diminta untuk mencoba menganggap kalau toko atau minimarket di sekitar tempat tinggal sebagai 'gudang pribadi' dan kota yang ditinggali sebagai 'ruang pribadi'. Sehingga, kita tidak perlu menyetok kebutuhan rumah berkantung-kantung (stok satu saja) maka jika habis, ambilah di gudang pribadi. Gudang pribadi ini juga termasuk yang bersifat online. Kita pun nggak perlu lagi membeli perabot rumah terlalu banyak. Jika ingin mencoba suatu perabot, sofa keluaran terbaru misalnya, maka datanglah ke cafe atau suatu tempat yang memiliki sofa seperti itu untuk memuaskan rasa penasaran. Sasaki juga berhasil meyakinkan saya bahwa rumah memang bukan museum, sehingga nggak perlu ada barang koleksi.

Kalaupun bersikukuh membeli barang, konsekuensinya adalah mengorbankan untuk mengeluarkan barang lain yang dipunyai. Membeli satu jaket misal, maka keluarkan satu jaket yang ada sebelumnya. Barang yang dibeli dengan yang dikeluarkan harus sepadan. Jangan membeli jaket lalu yang kita keluarkan adalah kaus kaki. Ini namanya prinsip. Catatan juga bahwa nggak selamanya minimalisme itu dikaitkan dengan barang polos berwarna earth tone. Nggak apa kalau benda yang kita punya ternyata bermotif atau berwarna ngejreng. Pengaitan tadi hanya alternatif, karena kelebihannya bisa membuat ruangan terkesan hangat dan lapang.

Kekurangan di buku ini hanya terletak di pandangan penulis yang masih menganggap gadget bermerk Apple seolah mencirikan produk seorang minimalis. Memang sih, Steve Jobs—pendirinya—merupakan penganut minimalisme, tapi terlalu mengelu-elukan suatu brand rasanya aneh. Tapi saya kemudian nggak terlalu mempermasalahkan lagi karena tentu referensi tiap orang berbeda.

Sebagai penghujung, nggak dipungkiri kalau buku ini sungguh life-changing! Seluruh tips and trick dan apa-apa yang diceritakan Sasaki selama proses menjadi minimalis sangat menggugah di tiap halamannya. Less is more: more space, more money, more room, more time to read, more sleep, more happy, more healthy, more doing, more grateful, more encouraging, more focus. Jadi, apakah sudah mulai terpikirkan untuk memulai perjalanan hidup yang baru sebagai seorang minimalis?


You Might Also Like

1 comments

  1. Betul sekali, di buku ini, Sasaki benar-benar dengan gamblang menyatakan kalau ia adalah penggemar gawai keluaran Apple karena sangat sesuai dengan gaya hidup minimalis yang ia jalani. Kalau tidak cermat dalam menangkap esensi minimalisme, pembaca akan mudah terseret dalam stigma bahwa minimalis = Apple.

    Padahal, bukan seperti itu esensinya.

    Minimalisme, gaya hidup minimalis or whatever it is, kuncinya (menurut saya) cuma 1 : Cukup.

    Somewhere between more & less.

    ReplyDelete