KOFI Special On Women's Soul #1: Isu Ketubuhan dan Tazkiyatunnafs
September 28, 2020Hari, tanggal: Ahad, 13 September 2020
Penyelenggara: The Center of Gender Studies (@thisisgender on Instagram)
Tubuh dalam diskursus feminisme menjadi salah satu
objek kajian yang ditempatkan dengan sangat sentral. Diskursus mengenai tubuh
ini dalam wacana feminsime telah membentuk teori-teori seksualitas yang sangat
erat kaitannya dengan kekuasaan dan kontrol politik dalam satu budaya yang
disebut patriarki. Kemudian adanya pula strereotype tentang tubuh perempuan yang selalu dilekatkan dengan norma. Sehingga mereka selalu menyalahkan adanya kebudayaan patriarki tersebut.
Feminisme menganggap bahwasanya masyarakat hari ini
kerap merepresentasikan perempuan hanya dari tubuhnya saja. Informasi yang
akurat mengenai konsep tubuh disembunyikan dari perempuan, dan tubuh perempuan
diperhitungkan hanya dalam istilah-istilah yang fungsional/man society. Simone de Beauvoir pernah menulis di dalam
bukunya The Second Sex, bahwa masyarakat menilai kekhususan biologis
yang dimiliki perempuan, yang meliputi adanya ovarium dan uterus, sehingga membuat perempuan terpenjara dalam subjektivitasnya, karena ia dibatasi oleh sifat-sifat alaminya
tersebut. Pembatasan karena aspek biologis atau ketubuhan ini, bagi feminis, bukan hanya membatasi
perempuan dalam berperan di masyarakat, misalnya kewajibannya untuk melahirkan,
menyusui, dan mengasuh anak, tetapi juga memberikan sepenuhnya definisi serta
konsep tubuh perempuan kepada supremasi laki-laki sehingga pada akhirnya tubuh
perempuan menjadi objek yang dibicarakan, dilekatkan pada norma-norma (lebih terasa judgement-nya ketika dilakukan perempuan), sampai
dieksploitasi. Sehingga, dari kekhawatiran ini, kaum feminisme membuat suatu agenda yang disebut sebagai body politic, untuk melawan dominasi laki-laki terhadap tubuh perempuan.
Saat kebangkitan feminisme gelombang kedua muncul di
tahun 1960-an (di Amerika), berbarengan dengan diangkatnya wacana dan agenda politik terkait
otonomi reproduksi dan hak aborsi, mereka juga mencoba mengangkat proyek yang
lebih umum untuk merebut kembali definsi, konsep tubuh perempuan untuk
melepaskan diri dari kontrol dan penindasan kaum laki-laki. Sehingga harapan akhirnya dapat menghancurkan patriarki dan membangkitkan female supremacy.
Hal
ini dapat kita pahami dari pergulatan di lapangan American Pro-Life Movement
ketika mereka melawan gelombang Feminist Pro-Choice yang menentang
diberlakukannya Undang-Undang yang mengatur kehamilan perempuan agar terhindar
dari keputusan reproduksi yang salah. Argumentasi dari Undang-Undang ini dikritik
oleh aktivis Feminist Pro-Choice karena dianggap semakin memperkuat penindasan
dan marginalisasi terhadap tubuh perempuan; Undang-Undang ini menyangkal hak perempuan dan otonomi,
menggantikan satu bentuk paksaan dengan seperangkat peraturan lain yang
dimaksudkan untuk membatasi kemampuan perempuan untuk membuat keputusan
reproduksinya sendiri. Sampai
di sini, kita memahami bahwa, untuk membebaskan tubuh dari monopoli patriarki,
mereka menggunakan tubuh itu sendiri sebagai wahana aksi politik dan protes.
Kehendak Bebas, Persetujuan dan Isu Ketubuhan
Barat memahami konsep esensi (atau yang mereka yakini
sebagai jiwa) dan konsep eksistensi (tubuh) sebagai sesuatu yang terlepas dari
aspek metafisika. Sehingga sesuatu yang disebut jiwa dalam timbangan mereka tidak
lebih dari sesuatu yang pada awalnya kosong. Bahwa ketika manusia pertama kali
terlahir, satu-satunya yang jelas dapat didentifikasikan adalah keberadaan
eksistensialnya melalui tubuhnya. Kekosongan esensi tersebut harus dibentuk dan
dipenuhi oleh manusia itu selama hidupnya dengan apa yang dikehendaki. Dari sinilah manusia dipahami
sebagai entitas yang memiliki kehendak bebas yang tidak bisa dibatasi oleh hal
apapun, termasuk agama. Kehendak bebas adalah bentuk penghargaan terhadap
keistimewaan kemanusiaan yang merupakan sifat asasi dari kebudayaan Barat yang diadopsi oleh feminisme. Maka segala bentuk kontrol yang membatasi
manusia dalam menentukan esensi dirinya harus dilawan. Perlawanan bagi apa-apa
yang membatasi pencarian esensi manusia ini tidak memiliki rambu-rambu yang
mengatur. Jika esensi bagi Barat ini diibaratkan kantung perut, maka segala
makanan dapat masuk ke dalamnya asalkan kantung perut itu terisi penuh, jika
pun satu saat ingin dimuntahkan, hal itu tidaklah masalah, dan seterusnya
kemudian diisi kembali tanpa adanya perubahan. Sehingga boleh jadi ada manusia
yang tidak menemukan esensi dirinya selama mereka hidup.
Tetapi sesungguhnya, apa yang mereka sebut sebagai
proses pemenuhan jiwa itu tidak lebih dari hawa nafsu semata dari apa-apa yang
bersifat badani (tubuh). Hal ini dapat kita lihat dari penjelmaan konsep
persetujuan dalam hal seksualitas—yang merupakan turunan dari kehendak bebas
manusia—yang menjadi kunci perjuangan feminisme dalam membela LGBTQ, pelacuran,
homoseksual, zina atau kohabitasi, atau segala bentuk eksplorasi seksual yang
tidak menyalahi kehendak individu yang bersangkutan misalnya fetish, masokisme
atau sodomi, yang semua itu didasarkan tanpa paksaan (berdasarkan consent).
Dalam diskursus feminisme, pelacuran kerap
disejajarkan dengan perkawinan. Karena menggunakan analisis materialis pelacuran dianggap salah satu pilihan yang berdaulat bagi perempuan. Keduanya dibaca sebagai institusi yang
sama-sama menjadi kunci atas akses tubuh laki-laki kepada perempuan. Perbedaan
keduanya hanya terletak pada pelembagaan yang dilakukan Negara. Mengutip
La Puberte’Marro, Simone de Beauvoir menulis “Satu-satunya perbedaan
antara perempuan yang menjual diri dalam pelacuran dan mereka yang menjual diri
pada perkawinan ialah harga dan kurun waktu kontrak yang berlaku.” Dalam
pandangannya itu, Simone menilai bahwa di antara dua ikatan laki-laki dan perempuan
itu mengandung sistem kerja yang telah dimonopoli oleh laki-laki melalui
kontrak-kontrak yang telah disepakati diawal. Artinya, yang satu disewa seumur
hidup oleh seorang laki-laki dengan iming-iming perlindungan, sementara yang
satu lagi oleh beberapa pelanggan dengan sepotong kertas dan dilindungi oleh orang–orang
yang ditugasi untuk melawan kesewenang-wenangan yang menyalahi kontrak diawal. Tubuh
mereka harus rela diakses sebagai suatu bentuk pemenuhan kontrak.
Pisau materialisme ala Simone ini, belum lama ini
digunakan oleh salah satu portal feminis dalam menganalisis satu film yang
berjudul Tales of the Night Fairies yang memotret salah satu institusi pelacuran di India yakni Durbar Mahila Samanwaya Committee. Dikatakan
bahwa keputusan mereka menjual tubuh bukan semata didasarkan karena kebutuhan
ekonomi yang menghimpit, melainkan karena mereka juga merasa berdaulat dan
merdeka dengan keputusan itu. Kalimat yang nyaris persis yang dikutip oleh
Simone, dikutip juga dalam analisis tersebut. Sayangnya, latar belakang historis
nihil dalam analisis tersebut, yang sebetulnya telah ditulis Janice G. Raymond dalam
bukunya yang berjudul Not a Choice, Not a Job.
Selain aborsi dan pelacuran, isu lain yang sentral
mereka perjuangkan adalah sex by consent atau seks dengan persetujuan. Meskipun
masih menjadi perdebatan di kalangan mereka sendiri, sebagian dari feminis ini
bersikeras percaya bahwa pendidikan sex by consent ini adalah pendidikan
paling solutif dalam memerangi angka kekerasan seksual.
Bagi mereka keterlibatan perempuan dalam memberikan konfirmasi atas tubuhnya
dalam suatu aktivitas seksual adalah bentuk kemenangan mereka dalam merebut definisi
tubuh. Akan tetapi, beberapa feminis semisal Sheilla Jeffrey menulis dalam jurnalnya
yang berjudul Consent and the Politics of Sexuality, seolah menangisi euforia kemenangan dari sex by consent ini.
Baginya, upaya perempuan untuk dapat benar-benar mendefinisikan tubuhnya dalam
rangka melawan dominasi laki-laki dalam relasi heteroseksual
adalah—pertama-tama—melawan dominasi itu sendiri. Artinya, tidak ada kebebasan
tubuh yang hakiki, tidak ada konsep tubuh perempuan yang orisinil jika dalam
relasi tersebut masih terdapat ketimpangan yang menindas. Keterlibatan perempuan
dalam aktivitas seksual dalam bentuk persetujuan bagi Jeffrey hanyalah, “Consent is a
tool for negotiating inequality in heterosexual relations. Women are expected
to have their bodies used but the idea of consent manages to make this use and
abuse seem fair and justified.” Solusi-solusi yang ditawarkan kaum feminisme ini sebenarnya sama sekali tidak bisa melampaui aspek ketubuhan dan menyentuh aspek kejiwaan, karena membuang aspek metafisika. Padahal selayaknya tubuh yang tidak memiliki tujuan dirinya, sehingga butuh dipadukan dengan jiwa, dimana jiwa tersebut juga membutuhkan penyucian (thaharah) lewat tazkiyatunnafs.
Tubuh, Jiwa dan Tazkiyatunnafs
Dalam Islam, manusia memiliki dua fitrah/tabi’at/sifat,
yaitu ia terdiri dari tubuh dan jiwa. Keduanya terpadu dan saling terintegrasi.
Pada waktu yang sama ia wujud/fisik dan ia juga ruh/spirit. Jiwa yang diciptakan oleh Allah sebelum bersatunya dengan tubuh bersifat suci,
bersih, cenderung mendekat kepada Allah serta mengetahui akan Tuhannya (ma’rifatullah). Hal ini
dapat dilihat ketika manusia bersaksi di hadapan Allah di alam alastu
tentang keesaan-Nya.
Persaksian ini yang kemudian menentukan tujuan, sikap maupun amalan manusia. Tetapi ketika ruh tersebut
bersatu dengan tubuh dan akhirnya ia melihat (mengetahui)
selain Allah, hal ini
berpotensi menjadi penghalang baginya dari Allah
karena sibuknya dengan selain Allah. Maka, untuk menuntun manusia agar terus terjaga
kepada jalan-jalan persaksian itu, Allah telah mengaruniakan kepada manusia
fakulti-fakulti (spiritual substence) untuknya mendapatkan al-‘ilm (ilmu),
yaitu nafs, qalb, aql, ruh. Karena hanya dengan jalan ilmulah manusia dapat
terus mengenal dirinya dan Tuhannya. Akan tetapi, karena fakultas yang dimiliki
manusia ini memiliki keterbatasan, serta Allah juga mensifati manusia dengan
sifat pelupa (nisyan), maka
Allah menurunkan wahyu sebagai sumber ilmu yang menerangkan kepadanya kebenaran
dan sebagai pengingat bagi manusia.
Lalu, tersebab sifat pelupa itu, manusia pada akhirnya
memiliki potensi untuk ingkar dan kecenderungan kepada perilaku zhalim dan
jahil. Hal ini juga didukung faktor lain yang menjadi halangan-halangan misalnya lingkungan, hawa nafsu, perasaan marah dan
kecenderungan-kecenderungan hewani lain yang menurut Imam al-Ghazali
dalam Qistas
al-Mustaqim membuat manusia terhijabi dari realitas hakiki. Itulah sebabnya, layaknya tubuh yang perlu olahraga untuknya tetap sehat, jiwa juga perlu dididik, dilatih dan dibersihkan
agar manusia
dapat mengendalikan fitrah berupa kecenderungan-kecenderungan hewani itu, agar
ia dapat melihat, mengetahui dan berdekatan dengan Allah kembali.
Tazkiyatunnafs (penyucian jiwa) ini sangat penting bagi manusia mengingat
jiwa adalah penggerak bagi tubuh. Karena sejatinya tubuh tidak memiliki tujuan
pada dirinya, tujuan itu akan ada apabila dihubungkan dengan jiwa, yaitu alat
untuk mengaktualkan potensi-potensinya. Tanpa
tazkiyatunnafs, unsur-unsur badaniyah atau ketubuhan ini akan menarik
manusia ke bawah, karena kecenderungan hewani (animal power) melekat padanya.
Meskipun begitu, di dalam Islam, tubuh tetap memiliki
hak dan tidak boleh dizhalimi keberadaannya. Seperti sabda Rasulullah SAW yang
diriwayatkan Imam Bukhari “…fainna lijasadika ‘alaika haqqan.”
Artinya, kesucian jiwa masih bisa dicapai tanpa melakukan pertentangan
terhadap tubuh. Hal ini yang membedakan Islam dengan agama lain misalnya dalam
tradisi Kristen yang menerapkan penolakan terhadap kebutuhan badani untuk
mencapai tingkat spiritual tertinggi, sehingga ada larangan menikah untuk
seorang tokoh agama, atau penyiksaan terhadap tubuh untuk menebus dosa. Oleh
karenanya segala bentuk kezhaliman yang dilakukan terhadap tubuh dilarang dalam
Islam. Dalam konteks feminisme yang menjadikan patriarki sebagai budaya
monopoli tubuh perempuan, tentu Islam menentangnya. Tetapi, dalam Islam
sendiri, kezhaliman baik terhadap tubuh atau apapun itu bukan didasarkan oleh
jenis kelamin atau hirarki tertentu dalam masyarakat, tetapi karena pada
tabi’atnya manusia-manusia ini, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki
kecenderungan untuk menyimpang dan sesat, tetapi juga memiliki kecenderungan
untuk taqwa. Dalam memahami kezhaliman, Islam tidak terbatas pada tubuh sebagai objek
kezhalimannya dan tidak terbatas pada jenis kelamin atau hirarki tertentu sebagai subjek
kezhalimannya. Islam memahami kezhaliman sebagai suatu akibat dari rusaknya
jiwa manusia sehingga menimbulkan amalan-amalan yang membuatnya jauh dari
Rabbnya.
Dalam konteks feminisme, bentuk-bentuk kezhaliman ini tentu berkaitan
erat dengan isu-isu yang telah dibahas. Bahwa, aborsi, pelacuran atas dasar
kehendak bebas, seks dengan persetujuan meski tanpa ikatan halal merupakan
beberapa dari sekian banyak tindak kezhaliman manusia atas dirinya (diri yang
merujuk pada jiwa dan tubuh). Mengapa dikatakan zhalim padahal itu adalah
kehendak yang datang dari diri manusia? Jawabannya, karena ia tidak menempatkan
kehendak jiwanya sesuai apa yang Allah perintahkan dan larang, melainkan
menempatkannya berdasarkan suka atau tidak suka, berkehendak atau tidak
berkehendak, sehingga pada gilirannya itu juga akan merusak unsur-unsur
badaniyah atau ketubuhannya. Perintah-Nya untuk mengendalikan kecenderungan
hewani itu telah tanggal dihadapan hawa nafsu itu sendiri. Bagi manusia, ujian
jiwa ini memang berat karena kecenderungan hewani itu sejatinya bersama kita.
Akan tetapi Allah memerintahkan kepada kita untuk menang di hadapannya. Seperti
yang dikatakan Abdullah bin al-Mu’taz dalam bait syairnya yang dikutip Ibnu
Jauzi dalam Dzammul Hawa, “Berapa banyak orang yang telah dilupakan
oleh nafsu. Hingga tidak tersisa sedikitpun kebaikan darinya. Jika sang musuh
ini mempunyai kesempatan, maka tidaklah terlihat perbuatanmu melainkan darinya.
Takutlah untuk menyesal setelahnya. Dan berharaplah dengan yang lain padahal
engkau akan selalu bersamanya.”
Konsep penyucian jiwa ini menjadi cara agar manusia
kembali pulang pada fitrahnya, sekaligus menjadi solusi atas
kezhaliman-kezhaliman badani. Sebuah konsep yang tidak dimiliki oleh peradaban
Barat. Oleh karenanya, cara bagaimana alam pikir Barat dalam menghapus
kezhaliman atau penindasan terhadap tubuh adalah dengan menumpangi tubuh itu
kembali sebagai kendaraan politik dalam upaya pembebasannya. Lagi-lagi, tujuan
dari pembebasan itu ialah agar apa-apa yang mereka sebut kehendak bebas yang
berasal dari jiwa manusia dapat terpenuhi tanpa adanya batasan-batasan,
rambu-rambu yang mengatur. Wahyu sebagai ilmu yang ditujukan bagi hamba-Nya
untuk terus berdekatan dengan Rabbnya, dijauhkan dan dilawan agar pemenuhan
atas kehendak bebas yang badaniyah itu terpenuhi. Benarlah apa yang dikatakan
Syaikh Moh, Abduh dalam kitabnya al-Islam wan Nashraniyyah fil 'ilmi wal Madaniyyah, “Musuh
manakah yan lebih dahsyat dari ilmu pengetahuan bagi bangsa-bangsa yang tak
berperadaban, yang akan menyingkapkan kepada mereka derajat mereka dan tindak
tanduk mereka yang buruk? Maka tiada heran seandainya mereka merusak ilmu dan
saudara kandungnya, yakni Islam. Wallahu’alam bisshawab.
0 comments